Menko Darmin: Rupiah Masih Berpeluang Menguat terhadap Dolar AS

Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menuturkan, rupiah berpotensi menguat tapi dibayangi kondisi global.

oleh Merdeka.com diperbarui 07 Jan 2019, 17:31 WIB
Diterbitkan 07 Jan 2019, 17:31 WIB
Nilai Tukar Rupiah Menguat Atas Dolar
Teller menunjukkan uang dolar dan rupiah di penukaran uang di Jakarta, Junat (23/11). Nilai tukar dolar AS terpantau terus melemah terhadap rupiah hingga ke level Rp 14.504. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan penguatan dalam beberapa hari terakhir. Pada Senin sore (7/1/2019), rupiah ditutup menguat pada level 14.082 per USD, dibandingkan pembukaan perdagangan pada posisi Rp 14.122 per USD.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, mata uang Garuda masih berpeluang untuk menguat terhadap USD. Namun, penguatan tidak akan terjadi secara otomatis.

"Masih. (Masih bisa lanjut menguat) Ya iya. Tapi tidak otomatis," ujar Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin pekan ini.

Darmin mengatakan, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih terus dibayang-bayangi oleh berbagai kondisi global. Meski demikian, saat ini arah untuk penguatan masih terus berlanjut. 

 "Dunia ini gonjang-ganjing juga kadang, begini kadang begitu. Tapi arahnya masih menguat. Jadi, masih," ujar Darmin.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

Kata Bank Indonesia

Nilai Tukar Rupiah Menguat Atas Dolar
Teller tengah menghitung mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Junat (23/11). Nilai tukar dolar AS terpantau terus melemah terhadap rupiah hingga ke level Rp 14.504. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Nanang Hendarsah menyebutkan rupiah melanjutkan penguatan signifikan hari ini yaitu sebesar Rp 215 atau 1,51 persen.

Dia mengatakan, penguatan rupiah ini terjadi di tengah situasi pasar keuangan global yang diwarnai optimisme atas prospek hasil negosiasi kesepakatan sengketa dagang AS dan China, serta perubahan sikap Chairman FOMC the Fed atas lintasan suku bunga AS ke depan.

"Tidak seperti sebelumnya yang tegas akan menaikkan suku bunga dua kali di 2019, paska jatuhnya harga saham di AS, kali ini the Fed menyiratkan akan lebih fleksibel dan akan menunggu perkembangan data ekonomi ke depan, serta siap melakukan perubahan dalam kebijakan suku bunga ke depan dan dan mulai melunak atas rencana proses penarikan likuiditas dari sistem keuangan," kata Nanang di Jakarta, Senin 7 Januari 2019.

Sebagaimana diketahui, sebagai bagian dari proses normalisasi kebijakan moneter pasca krisis 2018, sejak Desember 2017 the Fed dalam proses melepaskan kembali surat surat berharga yang diterbitkan swasta, dibeli the Fed untuk mengatasi krisis keuangan 2008 - 2009.

"Artinya, tengah terjadi penarikan likuiditas dari sistem keuangan. Surat berharga milik swasta yang ada pada neraca the Fed sampai saat ini baru turun ke USD 3,86 triliun per Januari 2018, dari USD 4,2 triliun yang bertahan sejak Januari 2014. Bila penarikan likuiditas dari sistem keuangan dilakukan terlalu cepat maka dapat menimbulkan keketatan dolar di seluruh dunia," ujar dia.

Dia menuturkan, meski kondisi ekonomi AS semakin solid, tapi diperkirakan tidak akan tetap kuat menahan pelemahan ekonomi global bila ekonomi Eropa, Jepang, dan China semakin kehilangan tenaga. 

"Memang data ekonomi AS terakhir masih menunjukkan kondisi yang solid. Data Change in Nonfarm Payrolls bulan Desember 2018 meningkat melebihi ekspektasi pasar ke level 312K (est. 184K) dari bulan sebelumnya yang direvisi naik ke level 176K (prior 155K) atau peningkatan ke level tertinggi dalam 10 bulan terakhir," ujar dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya