Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Susanto, mengatakan kehadiran barang impor berdampak pada turunnya industri keramik dalam negeri.
"Kapasitas terpasang kita 580 juta meter persegi. Secara kapasitas terpasang, kita nomer 4 di dunia setelah China, India Brasil," kata dia, di sela-sela Pameran Keramika, di JCC, Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Masuknya barang impor, kata dia, kemudian terus menggerus produk keramik Indonesia di pasar domestik. "Kita tidak punya data tepat, tapi lima tahun terakhir, data impor meningkat at least 20 persen setiap tahunnya," ungkapnya.
Advertisement
Baca Juga
"Di 2014, kami masih bisa tempati psisi lima besar. Taun lalu (peringkat) 9 karena kapasitas produksi kami turun. Tahun lalu kami produksi 380 juta meter persegi 2015-2014 saat itu produksi 430-440 juta," urai Edy.
Edy mengakui saat pasca kenaikan PPh pasal 22 dan kebijakan safeguard, industri keramik dalam negeri kembali menggeliat. Pihaknya pun telah menargetkan produksi pada tahun ini mencapai 440 juta meter persegi.
"Ini bukan sekadar semangat saja tapi kami yakin ini bisa realisasi. Kami dapat data dari industri, sudah dilaporkan, tadinya jalan (beroperasi) hanya 50 persen, sekarang 60-70 persen. Jadi perlahan mulai bergerak," jelasnya.
"Ekspor kami yakin pasti ada pemingkatan, contohnya tadinya tidak ekspor ke China hari ini pemain kita tiap bulan ekspor yang keramik besar 1,6x3,2 meter malah ekspor kembali ke China. Chian belum bslisa produksi yang demikian," tandasnya.
Reporter:Â Wilfridus Setu EmbuÂ
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Industri Keramik Lokal Keluhkan Tingginya Harga Gas
 Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) meminta pemerintah untuk mengevaluasi harga gas yang digunakan industri untuk produksi keramik.
Saat ini, harga gas yang disalurkan ke industri keramik dinilai masih mahal dan bervariasi antara satu daerah dan daerah yang lain.
BACA JUGA
"Harga gas di Jawa Timur USD 7,98 per MMBTU, di Jawa Barat USD 9,1 di Sumatera Utara USD 9,3. Komponen gas kurang lebih 30-35 persen di produksi, jadi sangat material," kata Ketua Umum Asaki, Edy Susanto di sela-sela Pameran Keramika, di JCC, Jakarta, Kamis (14/3).
Harga gas yang tinggi dan tidak merata menyebabkan biaya operasional menjadi tinggi. Tinggi biaya operasional menyebabkan industri sulit melakukan ekspansi bisnis.
"Sumatera Utara dengan USD 9, untuk produksi, mereka tidak berani set up investasi yang besar karena hanya mencocokkan sesuai permintaan pasar di situ," urai Edy.
Selain itu, disparitas harga antara wilayah membuat industri keramik untuk meluaskan pangsa pasar ke daerah lain.
"Dari Sumatera tidak berani ekspor ke Jawa yang lebih murah gasnya. Otomatis dia tidak berkembang. Akhirnya kapasitasnya bisa berkembang," ungkapnya.
Advertisement