PM Malaysia Mahathir Usul Mata Uang Regional Baru Berpatokan pada Emas

Mahathir mencatat bahwa pasar global sekarang terikat dengan dolar AS, dan ini membuat mata uang rentan terhadap manipulasi.

oleh Arthur Gideon diperbarui 30 Mei 2019, 19:35 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2019, 19:35 WIB
Mahathir Mohamad
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengusulan untuk menciptakan uang yang khusus baru untuk wilayah Asia berdasarkan emas. Mata uang baru ini untuk menggantikan rezin mata uang yang ada saat ini.

Mengutip Channel News Asia, Kamis (30/5/2019), dalam 25th International Conference on The Future of Asia (Nikkei Conference), Mahathir mengklaim bahwa mata uang regional berdasarkan emas akan stabil.

Mata uang bersama yang baru ini nanti bisa digunakan untuk kegiatan impor dan ekspor di antara negara-negara Asia Timur.

“Kita bisa bertransaksi menggunakan mata uang (baru) itu. Mata uang itu harus dipatok ke mata uang lokal sebagai nilai tukar, yang merupakan sesuatu yang dapat dikaitkan dengan kinerja negara, "katanya.

"Dengan begitu kita tahu berapa banyak kita berutang, berapa banyak kita harus membayar dalam mata uang khusus Asia Timur." tambah Mahathir.

Mata uang baru ini juga dapat diperluas ke negara-negara di luar Asia Timur.

Mahathir mencatat bahwa pasar global sekarang terikat dengan dolar AS, dan ini membuat mata uang rentan terhadap manipulasi.

“Hanya karena satu negara itu terkena, ada infeksi ke negara lain. Malaysia sangat stabil pada tahun 1997 (selama krisis keuangan Asia), tetapi karena masalah yang terjadi di Thailand, mereka mengatakan kita harus mematok mata uang Malaysia (terhadap dolar AS),” kenangnya.

Ketika ditanya apakah yen Jepang atau yuan Cina dapat digunakan sebagai mata uang bersama di kawasan itu, perdana menteri itu menjawab: "Jika kita mencoba mempromosikan mata uang kita sendiri, akan ada konflik."

"Tetapi jika kita memiliki mata uang bersama untuk Asia Timur, mata uang perdagangan bersama yang tidak digunakan di masing-masing negara tetapi untuk tujuan penyelesaian perdagangan saja, maka akan ada stabilitas," kata Mahathir.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Setahun Mahathir Berkuasa, Ekonomi Malaysia Masih Loyo

Resmi Dilantik, Mahathir Mohamad menjadi PM Tertua di dunia
Perdana Menteri Malaysia baru, Mahathir Mohamad memberi keterangan saat konferensi pers di Petaling Jaya, Malaysia (10/8). Di usia 92 tahun, pemimpin koalisi oposisi Pakatan Harapan itu menjadi pemimpin terpilih tertua di dunia. (AP Photo / Sadiq Asyraf)

Sebelumnya, sudah setahun berkuasa, janji-janji populis Pakatan Harapan masih belum berbuah manis. Yang muncul justru meredupnya dukungan rakyat Malaysia ke Mahathir Mohamad yang ratingnya turun menjadi 46 persen berdasarkan survei Merdeka Center.

Dilaporkan Nikkei Asian Review, sebanyak 52 persen rakyat Malaysia tidak puas dengan cara pemerintah Mahathir mengelola ekonomi. Ekonomi Malaysia pun kondisinya sedang loyo karena pengaruh internal dan eksternal. 

Salah satu indikasi melemahnya pertumbuhan konsumsi adalah tutupnya Parkson berlantai tiga yang berada di Twin Tower. Parkson itu sudah beroperasi selama 20 tahun.

"Ini bisa saja menandakan pelemahan pertumbuhan konsumsi privat dalam beberapa bulan mendatang," tulis DBS Singapura dalam laporan terbarunya.

Konsumsi merupakan kunci dari ekonomi Malaysia, dan pelemahan sentimen konsumen tidak akan berpengaruh baik ke GDP. Berdasarkan laporan Bank Dunia, GDP Malaysia diperkirakan tetap di level 4,7 persen pada tahun ini, sementara di tahun 2017 GDP mencapai 5,9 persen.

Turunnya antusiasme masyarakat karena tingginya ekspektasi bahwa pemerintahan Mahathir akan mengubah kehidupan mereka.

"Ekspektasi yang tinggi karena orang-orang mengira dengan pemerintahan baru maka kehidupan mereka akan serta merta membaik dalam beberapa bulan mendatang. Tetapi jika kamu melihat pemerintahan, pemasukan mereka sedang melemah," ucap Cassey Lee, senior fellow di Singapore's ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Analis dari Moody's menyebut beberapa kebijakan Mahathir justru merugikan ekonomi Malaysia. Salah satunya adalah kebijakan menghapus Pajak Barang dan Pelayanan alias Good and Services Tax (GST) yang mengurangi pemasukan.

"Terutama karena pilihan kebijakan menghapus GST, pengurangan defisit secara stabil akan sulit diterapkan, terutama pada lingkungan global yang melemah," ujar Anuskha Shah dari Moody's Investment Service.

Utang Naik dan Faktor Eksternal

Jokowi dan PM Mahathir di Beranda Istana
Presiden Joko WIdodo (Jokowi) berbincang dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad di Istana Bogor, Jumat (29/6). Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi secara resmi oleh PM Mahathir usai dilantik. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Imbas dihilangkannya GST dengan jenis pajak terbaru mengurangi pemasukan pemerintah sekitar 20 miliar ringgit atau Rp 68,9 triliun (1 ringgit = Rp 3.446). Alhasil, utang pun membayangi keuangan Malaysia.

Moody's memperkirakan utang Malaysia tahun ini akan naik hingga 56 persen GDP mereka. Angka itu naik dari tahun sebelumnya yakni 50,7 persen dari GDP.

Kehadiran perang dagang yang memanas antara China dan Ameriak Serikat (AS) juga menjadi pukulan tersendiri ke ekonomi Malaysia. Wajar, sebab negeri jiran amat bergantung ke dagang dengan rasio ekspor terhadap GDP mencapai 71 persen pada tahun 2017.

Tak hanya itu, ekonomi China yang sedang melambat juga merugikan Malaysia. Itu terbukti dengan jatuhnya ekspor Malaysia pada bulan Februari dan Maret dibandingkan tahun lalu.

Indeks saham KLCI pun harus rela menjadi pasar terburuk di dunia akibat jatuh lebih dari 3 persen secara year-to-date, sementara indeks-indeks saham lain di Asia seadng naik. Ringgit Malaysia pun masih lemah di level 4,1 ringgit per dolar pada awal April. 

Cassey Lee dari ISEAS-Yusof Ishak Institute menyebut pemerintah perlu kebijakan-kebijakan struktural jangka panjang seperti meningkatan dan memperbarui skill warga Malaysia dalam menghadapi perubahan ekonomi.

Selain itu, pemerintah diharapkan dapat menarik pekerja asing yang memiliki talenta. "Sekarang ada kebutuhan untuk terus bergerak maju ketimbang fokus ke stabilisasi jangka pendek dan investasi infrastruktur," ujarnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya