Demo Tak Berujung, Miliarder Hong Kong Ini Kehilangan Rp 14 Triliun

Beberapa orang terkaya di Hong Kong ikut menyuarakan untuk meminta agar demo segera berakhir

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Agu 2019, 18:02 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2019, 18:02 WIB
Polisi Hong Kong menembakan gas air mata ke kerumunan demonstran (AP/Kin Cheung)
Polisi Hong Kong menembakan gas air mata ke kerumunan demonstran (AP/Kin Cheung)

Liputan6.com, Jakarta - Miliarder Peter Woo asal Hong Kong mengaku telah kehilangan USD 1 miliar atau Rp 14 triliun (1 USD = Rp 14.283) akibat demo yang dilakukan selama 10 minggu. Menurut Bloomberg, Peter merupakan orang terkaya ke delapan di Hong Kong.

Bersama para miliarder lain, Peter ikut menyuarakan agar demo berhenti sehingga kerugian dapat berkurang dan kondisi perekonomian Hong Kong kembali seperti semula.

Protes yang telah berlangsung selama 10 minggu itu menyebabkan penutupan di berbagai ruas jalan, menyebabkan anjloknya pasar saham, dan mengganggu sistem penerbangan di bandara Hong Kong.

Beberapa warga kaya di Hong Kong merasa dirugikan dengan aksi demo tersebut.

Lebih dari USD 1 miliar per hari telah hilang dari hasil kekayaan Peter semenjak hari pertama demo dimulai. Saat ini, kekayaan Peter mencapai USD 11 miliar atau Rp 157 triliun.

Sama hal nya dengan Swire Pacific pemilik maskapai Cathay Pacific merilis pernyataan yang sama untuk menyerukan dan berharap berakhirnya aksi demo tersebut.

"Swire Pacific sangat prihatin dengan kekerasan dan gangguan yang terus berlangsung yang berdampak pada Hong Kong." Jelas konglomerat yang berbasis di Hong Kong dalam pernyataannya.

Kekayaan bersih para miliarder di Hong Kong sangat sensitif terhadap pasar. Pada tahun 2018 populasi kekayaan di Hong Kong menurun.

Menurut perusahaan konsultan teknologi Prancis Capgemini, kekayaan bersih dari penduduk terkaya Hong Kong turun 13 persen dibandingkan rata-rata global 3 persen.

Reporter: Chrismonica

Miliarder Hong Kong Memohon Agar Protes Akbar Berakhir

Ribuan PNS Hong Kong Ikut Demo Tolak RUU Ekstradisi
Ribuan pegawai negeri sipil (PNS) mengikuti unjuk rasa menolak RUU Ekstradisi di Hong Kong, Jumat (2/8/2019). Mereka mendukung gerakan demonstran pro demokrasi. (ANTHONY WALLACE/AFP)

Sebelumnya, Taipan Hong Kong akhirnya angkat suara menolak protes besar-besaran di negerinya yang dinilai sudah melewati batas hukum. Miliarder Peter Woo Kwong-ching (73) menyebut tindakan anarkis yang terjadi sudah mirip tindakan terorisme.

"Tindak kekerasan yang melanggar hukum dan intimidasi terhadap masyarakat sipil demi mengejar tujuan politik, beberapa orang bilang itu adalah definisi terorisme di Kamus Bahasa Inggris Oxford. Saya meminta kepada setiap kelompok: baik yang merah, kuning, biru, putih atau hitam, tolong jangan menggunakan kekerasan," ujar Woo seperti dikutip South China Morning Post. 

Untuk diketahui, pendemo anti-pemerintah China di Hong Kong identik dengan pakaian hitam, sementara pro-pemerintah China mengenakan warna putih. Mayoritas pendemo juga anak muda, yakni 60 persen, yang notabene kalangan kelas menengah terdidik.

Para taipan properti di Hong Kong mulai dari CK Hutchison, Henderson Land Development, Sun Hung Kai Properties, dan New World Development, juga menyiarkan petisi agar masyarakat menyetop semua protes ilegal. CK Hutchison sendiri adalah perusahaan milik miliarder terkaya Hong Kong, Li Ka-shing.

Pasar properti angkat suara karena mall-mall di Hong Kong sedang dilema, sebab mereka perlu memilih antara melarang polisi masuk ke mall untuk meringkus pendemo atau membiarkan polisi masuk mall. Mall milik miliarder Peter Woo kena damprat media pemerintah China karena "melindungi" pendemo. Sebaliknya, jika pengelola mall membiarkan polisi masuk mall, maka pihak pendemo akan murka.

Peter Woo berkata demo mestinya sudah berakhir karena tuntutan membatalkan RUU Ekstradasi sudah berhasil. Namun, kini pendemo ingin Pemimpin Eksekutif Carrie Lam mundur sebagai satu dari lima tuntutan mereka.

Demo sekarang pun dinilai hanya mengulang gerakan Occupy Central yang terjadi di Hong Kongpada 2014 lalu. Gerakan itu juga dikenal bernama Gerakan Payung sebagai simbol melawan gas air mata polisi.

"RUU Ekstradisi sudah game over. Lima tuntutan yang ada hanyalah pretensi untuk memperjuangkan apa yang gagal pada gerakan Occupy Central yang sudah melewati apa yang diizinkan hukum," ujar miliarder itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya