Liputan6.com, Hong Kong - China mengecam Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, setelah ia berbicara dengan pemimpin Hong Kong tentang rangkaian protes di wilayah otonomi khusus Tiongkok tersebut.
Protes yang sudah berlangsung selama berpekan-pekan telah berubah dari kampanye menentang RUU ekstradisi yang kontroversial menjadi demonstrasi jalanan yang bergulir menuntut demonstrasi pemilihan.
Advertisement
Baca Juga
Raab berbicara dengan kepala eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, dan menekankan perlunya "dialog politik yang bermakna dan penyelidikan yang sepenuhnya independen tentang peristiwa baru-baru ini sebagai cara untuk membangun kepercayaan" di wilayah itu, kata Kantor Luar Negeri Inggris, seperti dikutip dari the Guardian, Minggu (11/8/2019).
China geram dengan pembicaraan antara Raab dengan Lam, menyebutnya sebagai upaya campur tangan.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying mengatakan bahwa hari-hari ketika Inggris memerintah Hong Kong "sudah lama usai."
"Inggris tidak lagi memiliki kedaulatan, yurisdiksi atau hak pengawasan atas Hong Kong. Urusan Hong Kong tidak boleh dicampuri asing. Sangat salah bagi pemerintah Inggris untuk secara langsung memanggil kepala eksekutif Hong Kong untuk memberikan tekanan."
Merespons lebih lanjut, seorang juru bicara kantor luar negeri Inggris mengatakan: "Menteri luar negeri menggarisbawahi kekuatan hubungan antara Inggris dan Hong Kong, mencatat dukungan kami untuk otonomi tingkat tinggi Hong Kong sebagaimana diatur dalam deklarasi bersama dan komitmen kami terhadap prinsip 'satu negara, dua sistem'."
"Menteri luar negeri mengutuk tindakan kekerasan oleh semua pihak tetapi menekankan hak untuk protes damai, mencatat bahwa ratusan ribu orang Hong Kong telah memilih rute ini untuk mengekspresikan pandangan mereka."
Simak video pilihan berikut:
Bentrok Antara Demonstran dengan Polisi di Hong Kong
Sementara itu, Hong Kong telah dicengkeram oleh malam kekerasan lainnya setelah aksi damai di distrik Tai Po pada Sabtu 10 Agustus 2019 terpecah menjadi beberapa front ketika pengunjuk rasa berusaha untuk menerobos barikade polisi.
Polisi anti huru hara menembakkan gas air mata ke arah kerumunan di distrik tetangga Shatin dan Tai Wai pada Sabtu malam kemarin dalam upaya untuk membubarkan demonstran berpakaian hitam yang telah membarikade jalan dengan perbekalan terdekat.
Beberapa kilometer jauhnya, polisi anti huru hara juga menggunakan gas air mata pada kerumunan di distrik wisata Tsim Sha Tsui, sementara di seberang kota di bandara Internasional Hong Kong, aksi damai terus berlangsung hingga hari kedua.
Ketika protes memasuki minggu ke-10, Hong Kong tampaknya menghadapi krisis politik terburuk sejak kembalinya ke pemerintahan China pada tahun 1997 ketika pemerintah gagal menanggapi kemarahan publik yang intens pada RUU Ekstradisi kontroversial dan dugaan brutalitas polisi.
Protes telah menjadi kejadian hampir setiap hari di seluruh kota, dengan demonstrasi skala besar dijadwalkan terjadi setiap akhir pekan.
Sebagian besar kemarahan yang mempertahankan protes tampaknya berasal dari ketakutan yang sudah lama tentang masa depan Hong Kong di bawah pemerintahan China, dan ketidakmampuan pemerintah untuk memahami atau menindaklanjuti keinginan banyak penghuninya setelah kegagalan protes demokrasi tahun 2014.
Selama lima tahun terakhir, pemerintah tampaknya telah bergerak semakin dekat ke Beijing meskipun Hong Kong dijanjikan semi otonomi hingga 2047.
Advertisement