Kebijakan Moneter Modern yang Proaktif Percepat Pemulihan Ekonomi Pasca Corona

Perlu dipretimbangkan kebijakan moneter modern yang lebih proaktif untuk menopang keterbatasan ruang fiskal dan menciptakan likuiditas.

oleh Tira Santia diperbarui 18 Mei 2020, 10:29 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2020, 10:29 WIB
Gita Wirjawan
Gita Wirjawan mengaku mundur dari pemilihan Ketua Umum PBSI, Senin (31/10/2016), untuk menjaga persaudaraan sekaligus memberi kesempatan pada Wiranto. (Bola.com/Fahrizal Arnas)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Perdagangan yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Gita Wirjawan mengatakan, sangat perlu mempertimbangkan kebijakan moneter modern yang lebih proaktif untuk menopang keterbatasan ruang fiskal dan menciptakan likuiditas yang diperlukan untuk sektor riil.

“Keterbatasan ruang fiskal dan moneter sebelum pertimbangan stimulus untuk penanganan Covid-19, APBN untuk kuartal pertama tahun 2020 sudah menunjukkan keterbatasan ruang fiskal (dengan defisit sekitar Rp 76,4 triliun atau 0,45 persen dari PDB,” kata wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang  Indonesia (KADIN), Gita Wirjawan, dikutip dari tulisannya ‘Kebutuhan dan kecepatan pemulihan ekonomi menghadapi pandemi Covid-19 di Indonesia’, Senin (18/5/2020).

Menurutnya, upaya pendanaan untuk paket stimulus lewat pengalokasian ulang anggaran dan pinjaman di pasar dalam maupun luar negeri, diperkirakan hanya bisa membuahkan sekitar Rp 200 triliun.

Karena kapasitas meminjam di pasar dalam dan luar negeri sangat ada keterbatasan mengingat semakin ketatnya likuiditas di dalam maupun luar negeri.

“Dibanding dengan beberapa negara, persentase paket stimulus terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pun masih jauh lebih kecil,” ujarnya.

Selain itu, dilihat dari sisi kebijakan moneter, upaya yang sudah dilakukan untuk melakukan pelonggaran kuantitatif dengan penurunan batas Giro Wajib Minimum sebesar Rp170 triliun, dan pembelian instrumen di pasar sekunder sebesar Rp330 triliun, masih dianggap belum bisa menciptakan likuiditas baru.

Sehingga apa yang diperlukan oleh sektor riil adalah agar bisa dilakukannya pembenahan atau restrukturisasi terhadap pinjaman di perbankan nasional.

“Pertumbuhan kredit di sekitar 6 persen di tahun 2019, walaupun tingkat suku bunga sudah menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, juga menunjukkan keterbatasan likuiditas di dalam negeri,” ujarnya.

 

Keterbatasan Fiskal dan Moneter

20151101-Penyimpanan Uang-Jakarta
Tumpukan uang di ruang penyimpanan uang BNI, Jakarta, Senin (2/11/2015). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat jumlah rekening simpanan dengan nilai di atas Rp2 M pada bulan September mengalami peningkatan . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kendati begitu, mengingat adanya keterbatasan ruang fiskal dan moneter untuk membuahkan bantuan dengan kecepatan yang tinggi dan jumlah yang besar, sangat diperlukan kesediaan dana atau likuiditas baru untuk penanganan kesiapan sarana kesehatan, jaring pengaman sosial, pemulihan daya beli (demand side), dan pemulihan sisi produksi (supply side).

Lanjut Gita, apabila dihindarinya kelumpuhan permanen di sisi pasok atau produksi, perekonomian Indonesia berpeluang untuk lebih bisa bersaing di masa depan, khususnya dalam konteks upaya negara-negara maju untuk melakukan desentralisasi rantai pasok (supply chain) yang selama ini masih terkonsentrasi di titik-titik tertentu.

“Indonesia berpeluang untuk menjadi basis manufaktur dan produksi baru berdasarkan kebijakan banyak negara untuk melakukan relokasi kapasitas produksinya ke beberapa negara di Asia Tenggara. Besar harapan agar bisa dilakukannya sinkronisasi kebijakankebijakan antar lembaga agar pemulihan ekonomi bisa dilakukan dalam waktu dekat,” ungkapnya.

Juga peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam perekonomian Indonesia hanya sekitar 17 persen dibanding PDB negara-negara tetangga lainnya dengan porsi APBN terhadap PDB yang jauh lebih besar.

“Kita juga menyadari bahwa negara-negara lain sudah melakukan penyikapan fiskal untuk stimulus penanganan Covid-19 di level sekitar 10 persen atau lebih terhadap PDB-nya,” ujar Menteri Perdagangan Periode 2011–2014 ini.

Oleh karena itu, dimungkinkan sangat perlu dipertimbangkan kebijakan moneter modern yang lebih proaktif untuk menopang keterbatasan ruang fiskal dan menciptakan likuiditas yang diperlukan untuk sektor riil.

“Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Inggris, dan Tiongkok adalah beberapa negara yang sudah merangkul kebijakan moneter modern termasuk pelonggaran kuantitatif,” pungkasnya.   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya