Banggar DPR Tetapkan Sementara Asumsi Dasar RAPBN 2021, Ini Rinciannya

Banggar DPR) menyetujui semua indikator asumsi dasar yang diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2021.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Jun 2020, 16:00 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2020, 16:00 WIB
Ilustrasi APBN
Ilustrasi APBN

Liputan6.com, Jakarta - Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) menyetujui semua indikator asumsi dasar yang diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2021.

Namun, mengenai asumsi terkait Indonesia Crude Price (ICP) dan lifting minyak masih dilakukan pendalaman oleh Bangar dan Pemerintah.

"Sudah ada keputusan sementara Banggar, sebelum Pemerintah sendiri memberi masukan atas asumsi dasar tersebut. Saya bacakan keputusan asumsi dasar dan nanti kita minta masukan juga dari pemerintah. kecuali ICP dan lifting, kita beri kesempatan Komisi VII DPR menyelesaikannya,” kata Ketua Banggar Said Abdullah di Jakarta, Kamis (24/6).

Adapun asumsi dasar ekonomi makro terdiri dari pertumbuhan ekonomi ditargetkan 4,5-5,5 persen, inflasi 2,0 persen sampai 4,0 persen, nilai tukar Rupiah Rp 13.700-Rp 14.900 per USD, dan suku bunga SBN 6,29 persen-8,29 persen.

Pada klaster target pembangunan juga diusulkan, tingkat penggangguran terbuka pada 7,7 persen-9,1 persen, tingkat kemiskinan 9,2 persen-9,7 persen, gini rasio 0,377-0,379, dan indeks pembangunan manusia (IPM) 72,78-72,95.

“Ada sedikit catatan dari F-PDI Perjuangan soal ini. Tingkat suku bunga SBN tenor 10 tahun berada pada kisaran 6,67-7,29 persen, tingkat pengangguran terbuka pada kisaran 7,7 persen-8,5 persen, tingkat kemiskinan pada kisaran 8,9 persen-9,2 persen, dan gini rasio berada pada kisaran 0,371-0,377,” ungkap Said.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Sri Mulyani Usul Perubahan Asumsi Dasar APBN 2021 dari SPN ke SBN

Sri Mulyani Mencatat, Defisit APBN pada Januari 2019 Capai Rp 45,8 T
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi Feb 2019 di Jakarta, Rabu (20/2). Kemenkeu mencatat defisit APBN pada Januari 2019 mencapai Rp45,8 triliun atau 0,28 persen dari PDB. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengususlkan agar mengganti tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan dalam penghitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Berdasarkan kondisi pasar keuangan terkini, usulan tingkat suku bunga pada dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) perlu disesuaikan,” kata Sri dalam Rapat kerja Komisi XI DPR membahas Asumsi Dasar dalam KEM PPKF RAPBN 2021, Senin (22/6/2020).

Lebih lanjut Sri, mengusulkan dua opsi pengganti yakni  opsi yang pertama penggunaan suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun.

"Di dalam postur APBN yang lebih menentukan adalah Surat Berharga Negara (SBN) yang punya tenor 10 tahun. Ini juga komparasinya antar negara lebih sama atau menggunakan instrumen yang sama, yaitu SBN dengan tenor 10 tahun," jelasnya.

Sebelumnya  dalam dokumen KEM-PPKF awal, Pihaknya memberikan suku bunga SBN 10 Tahun antara 6,67 persen hingga 9,56 persen.

Menurutnya, asumsi awal tersebut disusun pada saat situasi market di bulan Maret-April yang masih sangat tinggi volatilitasnya, sehingga perannya memang sangat tinggi di 9,56 persen. 


Tingkat Suku Bunga

Ilustrasi Anggaran Belanja Negara (APBN)
Ilustrasi Anggaran Belanja Negara (APBN)

Kendati begitu, sekarang tingkat suku bunga SBN 10 tahun sudah turun mendekati 7 persen. Sehingga pihaknya mengusulkan kepada Komisi XI DPR RI apabila pada KEM-PPKF masih menggunakan instrumen SBN 10 tahun, maka proyeksi suku bunganya adalah antara 6,29 persen hingga 8,29 persen (lebih rendah dari usulan awal).

“Diterbitkan secara regular sebagai seri benchmark. Porsinya besar yaitu 25-30 persen dari penerbitan, dan 4,99 persen  dari outstanding domestik,” ujarnya.

Selanjutnya, opsi  yang kedua, untuk SBN dengan tenor 5 tahun dengan proyeksi tingkat suku bunganya berada dikisaran 5,88 persen-7,88 persen.

“juga diterbitkan secara regular sebaai seri benchmark. Porsinya besar yaitu 25-30 persen dari penerbitan, dan 5,94 persen  dari outstanding domestik, namun lebih mencerminkan risiko pasar jangka pendek,” pungkasnya.   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya