Ekonomi Belum Stabil, Penerimaan Pajak Tak Maksimal

Realisasi penerimaan pajak sampai dengan akhir Juli 2020 tercatat Rp 711 triliun.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 25 Agu 2020, 13:40 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2020, 13:40 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membeberkan Realisasi penerimaan pajak sampai dengan akhir Juli 2020 tercatat Rp 711 triliun atau  turun 14,7 persen secara tahunan. Realisasi itu terdiri dari pajak sektor migas mencapai Rp 19,8 triliun dan pajak non migas mencapai Rp 582 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kinerja ini jelas di luar ekspektasi pemerintah. Terkontraksinya penerimaan pajak menunjukkan bahwa recovery yang sudah tampak pada Juni 2020 tidak bertahan.

"Jadi waktu Juni ke tadi, saya tunjukkan pemulihan sudah terlihat, sudah mulai melandai. Namun ternyata di bulan Juni beberapa tadi yang saya sampaikan ternyata ternyata tidak bertahan seperti yang kita perkirakan," kata Sri Mulyani dalam APBN KiTa, Selasa (25/8/2020).

Menkeu menilai, penurunan PPh migas secara drastis tersebut melanjutkan penurunan mulai Februari 2020 karena dipengaruhi harga minyak dunia yang anjlok. Selain itu, dia menyebut penurunan itu juga diperparah dengan realisasi lifting minyak dan gas yang masih rendah.

Sementara itu, penerimaan Pajak Penghasilan atau PPh Pasal 21 karyawan pada Juli 2020 mengalami pertumbuhan negatif 20,38 persen. Kondisi itu berbanding berbalik dengan kinerja pada Juni 2020 yang mampu tumbuh positif 12,28 persen. Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan memperhatikan kondisi pembalikan penerimaan PPh Pasal 21 tersebut.

"Kita betul-betul waspadai inilah yang saya sebutkan angka bulan Juli belum betul-betul stabil jadi pemulihan memang belum stabil sepenuhnya dan ini berarti masih rapuh dan harus kita jaga supaya tidak membalik," pungkas dia.

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Mantan Menkeu Nilai Sebaiknya Insentif Pajak Dialihkan ke BLT

DJP Riau-Kepri Pidanakan 2 Pengemplang Pajak
Ilustrasi: Pajak Foto: Istimewa

Sebelumnya, Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai kucuran insentif pajak di tengah pandemi Virus Corona tidak tepat dilakukan. Sebab saat ini sebagian perusahaan tidak beroperasi seperti biasa sehingga insentif tidak akan terasa dampaknya.

"Sejak awal saya bilang insentif pajak tidak akan berjalan. Kenapa? Karena ketika perusahaan mengalami kerugian mereka juga tidak akan membayar pajak," ujar Chatib dalam diskusi online, Jakarta, Rabu (19/8/2020).

Sebagai gambaran, total insentif pajak yang diberikan pemerintah untuk dunia usaha dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp 94,61 triliun. Lalu insentif pajak untuk UMKM Rp 2,4 triliun, dan insentif pajak di bidang kesehatan mencapai Rp 9,05 triliun.

"Jika tidak ada aktivitas ekonomi, kenapa pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk insentif pajak? Nantinya, ketika ekonomi sudah berjalan kembali, maka pemerintah baru bisa memberikan insentif pajak," jelas Chatib.

Untuk itu, kata Chatib, lebih baik pemerintah fokus mengalokasikan anggaran PEN untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT juga lebih baik daripada sembako, sebab manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat dan mampu mendongkrak konsumsi dalam negeri.

"Jika Anda membicarakan sembako, itu hanya menjadi proyek karena semua orang meminta-minta. Ketika bicara sembako akan ada sarden, ketoprak, dan lain-lain. Tapi uang itu sangat mulia dibandingkan yang lain. Jadi sesimpel itu," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya