Sri Mulyani Beberkan 7 Temuan BPK Atas Laporan Keuangan APBN 2019

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan laporan pertanggungjawaban Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2019.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Sep 2020, 11:50 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2020, 11:50 WIB
20151229-Gedung BPK RI-YR
Gedung BPK RI. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyampaikan laporan pertanggungjawaban Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2019 kepada Komite IV dan Tim Anggaran Komite Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Dalam kesempatan tersebut, dirinya membeberkan beberapa tindak lanjut atas temuan signifikan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BKP) terhadap laporan keuangan pemerintah tahun anggaran 2019. Kendati begitu, temuan-temuan tersebut tidak mempengaruhi kewajaran dari laporan keuangan BA 15 tahun 2019 yang menerima Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

"Kita dari Kementerian Keuangan terus menyampaikan komitmen kepada BPK untuk menindaklanjuti berbagai rekomendasi yang disampaikan oleh BPK di dalam perbaikan pengelolaan keuangan BA 15 meskipun dia tidak mempengaruhi status WTP serta melakukan tindak lanjut dari rekomendasi tersebut,” jelas dia dalam rapat kerja bersama dengan DPD RI membahas RUU Pelaksanaan APBN 2019 dan RAPBN 2021, di Jakarta, Rabu (9/9).

Temuan pertama yakni terkait penatausahaan piutang perpajakan. Pemerintah menindaklanjuti dengan telah memulai mengimplementasikan revenue accounting system (RAS). Kedua, terkait PMN pada PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri. Pemerintah juga telah menindaklanjuti dengan meminta kedua perusahaan tersebut merencanakan pemeriksaan LK tahun 2020 sehingga dapat mendukung penyajian investasi permanen pada LKPP 2020 secara andal.

Temuan lain BPK ketiga yakni mengenai penatausahaan aset KKKS. Atas temuan itu pemerintah akan menyempurnakan peraturan, kebijakan, SOP rekonsiliasi, serta pelaporan dalam rangka penatausahaan aset KKKS. Dari aspek teknologi informasi, pemerintah akan menyelesaikan interkoneksi sistem pelaporan aset eks KKKS, dan melanjutkan inventarisasi dan penilaian aset eks KKKS.

Keempat terkait dengan penatausahaan aset eks BLBI. Pemerintah melakukan tindak lanjut dengan melakukan penyelesaian atas sejumlah aset eks BLBI serta telah melakukan pengamanan fisik dan yuridis atas sejumlah aset properti.

Kelima, berkaitan dengan temuan pendanaan pengadaan tanah PSN. Atas temuan itu, pemerintah akan mencatat pendanaan pengadaan tanah PSN sebagai belanja modal pada Kementerian Lembaga terkait. Selanjutnya pada 2020, pemerintah juga mengatur mekanisme pencatatan ke belanja modal melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2020 tentang perubahan atas Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN TA 2020.

Selanjutnya temuan keenam yakni terkait dengan penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja. Sebagai tindak lanjut pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain meningkatkan kualitas pelaksanaan anggaran, serta mengoptimalkan peran APIP dan mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran.

Terakhir yakni terkait dengan temuan kewajiban atas program pensiun dan potensi Unfunded Past Service Liability pada PT Asabri. Di mana pemerintah menindaklanjuti dengan menyusun rencana penyelesaian ketentuan dan standar terkait penyajian kewajiban jangka panjang program pensiun, melakukan reviu dan penyesuaian atas penggunaan asumsi dan metode perhitungan aktuaria serta menyempurnakan akuntansi pemerintah pusat untuk pengungkapan nilai kewajiban jangka panjang pensiun.

"Pada akhirnya kualitas LKPP akan terus kita jaga akan semakin baik, agar informasi yang disajikan dalam LKPP semakin berdaya guna dalam mengambil kebijakan, bermanfaat lebih luas, serta mendukung pencapaian kesejahteraan masyarakat dan tujuan nasional," tandas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Sri Mulyani: Konsumsi, Investasi dan Ekspor Harus Tinggi Agar Ekonomi Tumbuh 0 Persen

Sri Mulyani Mencatat, Defisit APBN pada Januari 2019 Capai Rp 45,8 T
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi Feb 2019 di Jakarta, Rabu (20/2). APBN 2019, penerimaan negara tumbuh 6,2 persen dan belanja negara tumbuh 10,3 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi menjadi perhatian pemerintah di samping penanganan dan penanggulangan penyebaran Virus Corona. Untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi mendekati 0 persen pada kuartal III 2020 maka konsumsi, investasi dan ekspor harus tinggi.

"Tantangan kalau ingin mendekati 0 maka konsumsi, investasi dan eskpor harus meningkat sangat tinggi," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, usai menghadiri rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Jakarta, Senin (7/9/2020).

Sri Mulyani mengatakan, dengan adanya sejumlah pembatasan aktivitas dan kegiatan serta kekhawatiran pertambahan jumlah pasien positif, pemerintah berhati-hati melakukan sejumlah kebijakan. Namun demikian, Kemenkeu memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II bisa mencapai 0 hingga -2 persen.

"Dengan adanya pembatasan dan sekarang kekhawatiran terjadinya kenaikan jumlah positif tiap hari harus hati-hati. Dalam estimasi kami di kuartal II bisa mencapai antara 0 hingga -2 persen. Ini artinya kita masih membutuhkan, kalau kita lihat belanja pemerintah diakselerasi," paparnya.

Lebih lanjut, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, konsumsi masyarakat belum sepenuhnya bisa diandalkan untuk mendongkrak ekonomi di kuartal II. Sebab, jika dilihat pada April, Mei dan Juni aktivitas masyarakat sama sekali belum pulih.

"Kontraksi ekonomi kita waktu itu untuk April, Mei dan Juni yaitu kuartal II mengalami kontraksi 5,3 persen. Kontraksi itu disumbangkan oleh konsumsi yang turunnya mendekati 4,8 persen. Dan investasi turun mendekati 8 persen," katanya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com 

Masyarakat Masih Ogah Belanja, Ekonomi Indonesia Bakal Minus 2 Persen

Indeks Harga Konsumen September Alami Deflasi 0,27 Persen
Pedagang melayani pembeli di Pasar Kebayoran, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen pada September 2019 mengalami deflasi sebesar 0,27 persen. Posisi ini lebih rendah dari deflasi Agustus 2019 sebesar 0,68%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Tirta Segara memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga kembali tumbuh negatif 2 persen. Kondisi ini terjadi akibat dampak buruk dari turunnya angka konsumsi masyarakat.

"Kita siap-siap bisa minus 2 persen akibat orang tidak mau membelanjakan uangnya," kata Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Tirta Segara dalam Webinar Indonesia Millenial Financial Summit Jakarta, Senin (7/9/2020).

Dampak lanjutan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi ini akan berpengaruh pada menurunnya Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahun 2020. Kontraksi ini juga bisa meningkatkan angka kemiskinan yang ada di Indonesia.

Tirta menyebut akan ada penambahan 4,86 juta orang miskin baru. Hal ini terjadi karena banyak pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) yakni sebanyak 5,23 juta.

"PDB kita akan terkontraksi, kemiskinan meningkat karena banyak pegawai yang di PHK dan angka pengangguran meningkat hingga 5,23 juta orang," kata Tirta.

Akibatnya, kata Tirta, mayoritas rumah tangga mengalami kesulitan keuangan. Setidaknya menurut data 87 persen pengusaha mengalami kesulitan keuangan dan 65 persen pekerja juga mengalami kesulitan keuangan dalam hal ini.

Sebanyak 22 persen pekerja kepala keluarga juga kehilangan mata pencaharian. Sehingga mereka menggunakan tabungan untuk bertahan hidup. 48 persen pengusaha sudah menggunakan uang tabungannya. Begitu juga dengan pekerja yang 45 persen memakai tabungannya untuk mempertahankan daya beli.

Tidak sedikit juga yang sudah menjual aset. Sebanyak 28 persen pengusaha telah menjual asetnya sedangkan pekerja sudah 15 persen menjual aset. Selain itu, 19 persen pengusaha dan 8 persen pekerja sudah menggadaikan aset yang dimiliki.

"Mereka ini sudah menggunakan uang tabungan, tapi ini kan ada batasnya. Kalau tabungan sudah habis itu biasanya menjual aset atau gadai aset," kata Tirta.

Cara lain yang digunakan masyarakat untuk bertahan hidup yakni dengan melakukan pinjaman kepada koperasi atau bank. Sebanyak 32 persen pengusaha dan 19 persen pekerja telah meminjam dana kepada koperasi. Begitu juga dengan pinjaman melalui perbankan. Masing-masing kelompok pengusaha dan pekerja sudah mengajukan pinjaman ke bank sebanyak 6 persen.

"Ada juga yang sudah mulai pinjam di koperasi dan pinjam ke bank," kata Tirta. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya