Sri Mulyani: Konsumsi, Investasi dan Ekspor Harus Tinggi Agar Ekonomi Tumbuh 0 Persen

Kemenkeu memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II bisa mencapai 0 hingga -2 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Sep 2020, 17:45 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2020, 17:45 WIB
FOTO: Sri Mulyani Bahas Program PEN Bersama Komisi XI DPR
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/8/2020). Sri Mulyani memastikan pencairan bantuan Rp 600 ribu bagi para pekerja yang memiliki gaji di bawah Rp 5 juta akan dimulai pekan ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi menjadi perhatian pemerintah di samping penanganan dan penanggulangan penyebaran Virus Corona. Untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi mendekati 0 persen pada kuartal III 2020 maka konsumsi, investasi dan ekspor harus tinggi.

"Tantangan kalau ingin mendekati 0 maka konsumsi, investasi dan eskpor harus meningkat sangat tinggi," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, usai menghadiri rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Jakarta, Senin (7/9/2020).

Sri Mulyani mengatakan, dengan adanya sejumlah pembatasan aktivitas dan kegiatan serta kekhawatiran pertambahan jumlah pasien positif, pemerintah berhati-hati melakukan sejumlah kebijakan. Namun demikian, Kemenkeu memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II bisa mencapai 0 hingga -2 persen.

"Dengan adanya pembatasan dan sekarang kekhawatiran terjadinya kenaikan jumlah positif tiap hari harus hati-hati. Dalam estimasi kami di kuartal II bisa mencapai antara 0 hingga -2 persen. Ini artinya kita masih membutuhkan, kalau kita lihat belanja pemerintah diakselerasi," paparnya.

Lebih lanjut, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, konsumsi masyarakat belum sepenuhnya bisa diandalkan untuk mendongkrak ekonomi di kuartal II. Sebab, jika dilihat pada April, Mei dan Juni aktivitas masyarakat sama sekali belum pulih.

"Kontraksi ekonomi kita waktu itu untuk April, Mei dan Juni yaitu kuartal II mengalami kontraksi 5,3 persen. Kontraksi itu disumbangkan oleh konsumsi yang turunnya mendekati 4,8 persen. Dan investasi turun mendekati 8 persen," katanya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

Masyarakat Masih Ogah Belanja, Ekonomi Indonesia Bakal Minus 2 Persen

Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta Turun 5,6 Persen Akibat Covid-19
Deretan gedung perkantoran di Jakarta, Senin (27/7/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta mengalami penurunan sekitar 5,6 persen akibat wabah Covid-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Tirta Segara memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga kembali tumbuh negatif 2 persen. Kondisi ini terjadi akibat dampak buruk dari turunnya angka konsumsi masyarakat.

"Kita siap-siap bisa minus 2 persen akibat orang tidak mau membelanjakan uangnya," kata Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Tirta Segara dalam Webinar Indonesia Millenial Financial Summit Jakarta, Senin (7/9/2020).

 

Dampak lanjutan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi ini akan berpengaruh pada menurunnya Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahun 2020. Kontraksi ini juga bisa meningkatkan angka kemiskinan yang ada di Indonesia.

Tirta menyebut akan ada penambahan 4,86 juta orang miskin baru. Hal ini terjadi karena banyak pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) yakni sebanyak 5,23 juta.

"PDB kita akan terkontraksi, kemiskinan meningkat karena banyak pegawai yang di PHK dan angka pengangguran meningkat hingga 5,23 juta orang," kata Tirta.

Akibatnya, kata Tirta, mayoritas rumah tangga mengalami kesulitan keuangan. Setidaknya menurut data 87 persen pengusaha mengalami kesulitan keuangan dan 65 persen pekerja juga mengalami kesulitan keuangan dalam hal ini.

Sebanyak 22 persen pekerja kepala keluarga juga kehilangan mata pencaharian. Sehingga mereka menggunakan tabungan untuk bertahan hidup. 48 persen pengusaha sudah menggunakan uang tabungannya. Begitu juga dengan pekerja yang 45 persen memakai tabungannya untuk mempertahankan daya beli.

Tidak sedikit juga yang sudah menjual aset. Sebanyak 28 persen pengusaha telah menjual asetnya sedangkan pekerja sudah 15 persen menjual aset. Selain itu, 19 persen pengusaha dan 8 persen pekerja sudah menggadaikan aset yang dimiliki.

"Mereka ini sudah menggunakan uang tabungan, tapi ini kan ada batasnya. Kalau tabungan sudah habis itu biasanya menjual aset atau gadai aset," kata Tirta.

Cara lain yang digunakan masyarakat untuk bertahan hidup yakni dengan melakukan pinjaman kepada koperasi atau bank. Sebanyak 32 persen pengusaha dan 19 persen pekerja telah meminjam dana kepada koperasi. Begitu juga dengan pinjaman melalui perbankan. Masing-masing kelompok pengusaha dan pekerja sudah mengajukan pinjaman ke bank sebanyak 6 persen.

"Ada juga yang sudah mulai pinjam di koperasi dan pinjam ke bank," kata Tirta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya