Kata Buruh Soal Aturan TKA dalam UU Cipta Kerja: Jangan Rebut Lahan Kami

UU Cipta Kerja dipercaya mempermudah perizinan masuk bagi tenaga kerja asing (TKA).

oleh Tira Santia diperbarui 13 Okt 2020, 13:45 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2020, 13:45 WIB
Demo Tolak Omnibus Law di Gerbang Pemuda
Massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) melakukan unjuk rasa di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Dalam aksinya mereka menolak rencana pengesahan RUU Cipta Kerja atau omnibus law. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dalam rapat paripurna DPR pada Senin 5 Oktober 2020 diklaim untuk memudahkan dan mendatangkan investasi ke Indonesia, terutama investasi asing. Selain menciptakan lapangan kerja baru, UU Cipta Kerja juga dipercaya mempermudah perizinan masuk bagi tenaga kerja asing (TKA).

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, serikat buruh tidak menolak pengaturan Tenaga Kerja Asing (TKA) dalam UU Cipta Kerja dengan semangat mengundang investasi. Tetapi ia memberikan catatan diharapkan TKA tersebut  tidak mengambil lahan pekerjaan buruh di Indonesia.

"Soal TKA saya setuju, kami tidak menolak TKA dengan persyaratan misalnya yang datang itu memang tenaga ahli yang tidak kita miliki, lalu mereka harus punya batasan dan transfer ilmu. Jangan yang datang ini seperti isu-isu hoaks bahwa mereka juga bisa mengambil kerja serabutan di Indonesia," kata Elly dalam webinar secara virtual, Selasa (13/10/2020).

Maka dari itu, peran pemerintah harus menjelaskan UU Cipta Kerja lebih jelas lagi, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berlanjut di masyarakat. Namun kini, yang menjadi permasalahan draf UU Cipta Kerja masih terus mengalami perubahan setelah disahkan.

"Yang menjadi masalah ini adalah UU Cipta Kerja yang disahkan ini 3 kali kita terima pertama 905 halaman, kemudian 1035 halaman, lalu sekarang ada 812 halaman, nah ini juga kan kelihatan ketidaksiapan pemerintah sebenarnya kenapa harus disahkan tanggal 5? padahal masih ada edit-editan siapa yang bertanggung jawab untuk mengedit-mengedit," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Tak Perlu Izin Menteri

Demo Tolak Omnibus Law di Gerbang Pemuda
Massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) membawa poster saat berunjuk rasa di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Dalam aksinya mereka menolak rencana pengesahan RUU Cipta Kerja atau omnibus law. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menurut Elly, seharusnya setelah UU Cipta Kerja di sahkan maka parlemen tidak bisa mengotak-ngatik lagi, ia mendengar kabar tersebut dari pihak bersangkutan yang menelpon kepada Baleg dihadapannya, seketika ia berpikir UU tersebut memang belum layak disahkan.

"Tapi ini sampai disini masih dengar betul seseorang menelepon di hadapan saya kepada Baleg bahwa baru selesai, berarti seminggu sebelumnya itu yang disahkan itu apa? Saya kira tidak ada sejarahnya undang-undang yang sudah disahkan masih bisa di kotak-katik itu masalahnya," ujarnya.

Adapun peraturan dalam Pasal 42 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapatkan izin tertulis dari menteri atau pejabat lain yang ditunjuk.

Demikian berlakunya UU Cipta Kerja, maka TKA cukup memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), lantaran tak perlu lagi membutuhkan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Padahal sebelumnya menurut Perpres Nomor 20 tahun 2018, TKA yang masuk ke Indonesia harus memiliki izin Visa Tinggal Terbatas (VITAS), RPTKA, dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya