Kementan Berkomitmen Cegah Resistensi Antimikroba Pada Ternak

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) terus berkomitmen untuk mencegah terjadinya resistensi antimikroba di Indonesia.

oleh Reza diperbarui 18 Nov 2020, 14:33 WIB
Diterbitkan 18 Nov 2020, 14:33 WIB
Kementan PKH
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) terus berkomitmen untuk mencegah terjadinya resistensi antimikroba di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Pandemi covid-19 merupakan bencana kemanusiaan global yang dengan cepat menjadi fokus perhatian dunia. Namun, sejak beberapa tahun silam, sebenarnya dunia juga sedang dihadapkan pada ancaman pandemi lain, yaitu resistensi antimikroba atau kebal terhadap obat.

Resistensi antimikroba sendiri adalah kondisi di mana virus atau bakteri tidak dapat dimatikan dengan antimikroba (anti virus) atau obat antibiotik. Hal ini mengancam kemampuan tubuh baik hewan maupun manusia dalam melawan penyakit infeksi yang dapat mengakibatkan kecacatan bahkan kematian.

Dalam kasus resistensi antimikroba pada hewan ternak khususnya, menjadi berbahaya untuk manusia karena virus resisten pada hewan ternak akan sulit diberantas oleh penggunaan obat-obatan. Imbasnya, virus tersebut bisa menular ke tubuh manusia jika manusia mengkonsumsi hewan ternak yang mengandung virus resisten.

Adapun beberapa penyebabnya seperti, penggunaan antimikroba secara berlebihan, pemakaian antimikroba tanpa indikasi, penggunaan di bawah dosis yang dianjurkan, dan transmisi bakteri resisten di fasilitas kesehatan yang berakibat abainya menjalankan kewaspadaan.

Maka dari itu, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) terus berkomitmen untuk mencegah terjadinya resistensi antimikroba di Indonesia. Pasalnya, jika tidak ditangani dengan serius, pandemi ini bisa menyebabkan bencana kemanusiaan yang berbahaya.

"Penggunaan antimikroba untuk tujuan pencegahan penyakit dan pemacu pertumbuhan pada ternak yang sehat harus dihindari," ujar Direktur Jenderal PKH Kementan, Nasrullah.

Ia menambahkan, peternak juga perlu menerapkan praktik-praktik peternakan yang baik dan pencegahan serta pengendalian infeksi. Harapannya, bisa menghasilkan produk peternakan yang sehat, bebas residu antibiotik dan bebas penyakit.

Nasrullah menyampaikan, sejak bulan Juli 2020, Indonesia telah melarang penggunaan obat colistin pada hewan (ternak maupun non-ternak). Pelarangan ini dilakukan pemerintah guna mencegah terjadinya resistensi antimikroba.

Adapun beberapa upaya tersebut dilakukan melalui berbagai rute pemberian dan akan memperluas daftar antibiotik yang dilarang untuk pemicu pertumbuhan ternak di tahun-tahun mendatang, serta mengurangi penggunaan antimikroba atau antibiotik yang umum digunakan pada manusia.

Sejatinya, pemerintah sudah mengeluarkan beberapa regulasi dalam hal mencegah terjadinya resistensi antimikroba ini. Misalnya, lewat UU 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 51 ayat (3) yang menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.

"Selain itu, ada juga aturan pada Permentan 14 Tahun 2017 Pasal 4 yang mengatakan obat hewan yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dilarang digunakan pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia," imbuh Nasrullah.

Ia menjelaskan, Kementan memiliki beberapa upaya lain dalam hal pencegahan resistensi antimikroba ini. Di antaranya, akan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang resistensi antimikroba, membangun komitmen pemangku kepentingan dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba di setiap sektor.

Kemudian, berupaya menurunkan prevalensi resistensi antimikroba di setiap sektor, lalu mengembangkan inovasi pencegahan dan tata cara pengobatan infeksi, serta alternatif pengganti antimikroba serta meningkatkan koordinasi dan kolaborasi terpadu dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba.

"Setidaknya kami mempunyai enam tujuan strategis untuk pengendalian resistensi antimikroba ini pada tahun 2020 sampai tahun 2024," jelas Nasrullah.

Ia berharap, adanya segala upaya ini bisa berdampak signifikan terhadap sektor kesehatan hewan dengan adanya penurunan penggunaan antimikroba di peternakan ayam broiler sebagai profilaksis (dari 80% menjadi 50% di 2024) dengan surveilans AMU.

Kemudian, terjadi peningkatan praktik biosekuriti dan penatalaksanaan penggunaan antibiotik di peternakan ayam petelur (dari 4,4% menjadi 20% di 2024) dengan sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV).

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) membenarkan bahwa resistansi antimikroba juga dapat menyebabkan gangguan produksi pada sektor peternakan. Lantaran hewan yang sakit tidak dapat ditangani dengan baik akibat antimikroba kehilangan kemampuannya untuk membunuh mikroorganisme yang menginfeksi hewan tersebut.

Hal ini tidak hanya berdampak pada meningkatnya tantangan manajemen kesehatan hewan, namun juga ancaman bagi kesehatan masyarakat karena bakteri resistan dapat menyebar melalui rantai makanan.

Team Leader FAO ECTAD Indonesia, Luuk Schoonman mengatakan jika penyakit pada hewan ternak tidak terkendali, produk pangan asal hewan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Selain itu, sumber mata pencaharian para peternak juga akan berdampak karena menurun drastis.

"Hal ini dapat membahayakan ketahanan pangan terutama produktivitas sektor pertanian, peternakan dan budidaya perikanan dalam menyediakan sumber pangan bagi masyarakat,” sambung Luuk Schoonman.

Sementara itu, Nani H Widodo, Kasubdit Pelayanan Medik dan Keperawatan, Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan, untuk mengendalikan laju resistansi antimikroba, dibutuhkan kerja sama yang kuat dari berbagai sektor.

Selain otoritas yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan pedoman, para profesional kesehatan dan veteriner serta masyarakat dan sektor pertanian juga berperan penting dalam mengatasi masalah ini.

“Gunakan antibiotik hanya untuk infeksi bakteri, antibiotik tidak diperlukan untuk memerangi infeksi virus, jamur atau parasit yang menyebabkan masuk angin, sakit tenggorokan, atau demam berdarah. Pasien harus mematuhi resep dokter jika diberikan antibiotik,” tutur Nani.

Resistensi antimikroba menjadi ancaman serius di dunia kesehatan global karena berdampak pada perekonomian dan aspek lain dalam kehidupan seperti produksi pangan, air, sanitasi, higienitas, sampai jaminan kesehatan. Bahkan, bisa mengancam pencapaian target pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah memasukan resistensi antimikroba ke dalam 10 ancaman kesehatan global. Lantaran, resistensi antimikroba sampai saat ini diprediksi mengakibatkan 700 ribu kematian dan akan bertambah mencapai 10 juta kematian secata global di tahun 2050 jika tidak ditangani serius.

“WHO telah menyatakan bahwa resistansi antimikroba merupakan satu dari 10 ancaman kesehatan global yang dihadapi oleh manusia. Resistansi antimikroba juga menimbulkan dampak yang signifikan bagi perekonomian dan sistem kesehatan. Selain kematian dan disabilitas, penyakit yang berkepanjangan karena resistansi obat juga dapat mengakibatkan masa perawatan di rumah sakit menjadi lebih lama, kebutuhan perawatan medis yang lebih mahal, dan masalah-masalah finansial,” ujar Dr N. Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia.

Terakhir, Purnamawati Sujud dari Yayasan Orang Tua peduli mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan atau tidak lakukan saat ini akan menentukan masa depan.

"Konsumen berperan sangat penting dalam menekan laju resistensi antimikroba. Kami percaya bahwa konsumen perlu diberdayakan dengan informasi yang holistik mengenai peranan antibiotik sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Kita harus hati-hati menggunakan antibiotik agar tidak lagi kembali ke era sebelum ada antibiotik," ujar Purnamawati. 

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya