Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus berupaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) di dalam negeri. Mengingat adanya segudang manfaat yang akan diraup Indonesia apabila sukses mengimplementasikan SDGs.
"Jadi, memang Indonesia sudah mulai memikirkan dengan riset dan adjustment pembangunan ekonomi berkelanjutan ke depan. Artinya pertumbuhan ekonomi lebih mengedepankan antara aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi," ujar Plt. Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti dalam webinar Unilever Kolaborasi dan Aksi Bersama Menuju Pembangunan Indonesia yang Berkelanjutan, Senin (23/11).
Baca Juga
Amalia merinci, sederet manfaat atas implementasi SDGs di Indonesia. Diantaranya, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif secara sosial, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan pemanfaatan sumber daya secara efisien.
Advertisement
"Itulah kenapa kita gaung-gaungkan terus ekonomi berkelanjutan (SDGs). Sehingga bisa untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif di masa depan," terangnya.
Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan tiga strategi dalam mempercepat implementasi SDGs di Indonesia. Sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pertama, mewujudkan agenda prioritas nasional terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan. Kedua, membantu dalam mengakses dana serta membentuk sarana dan instrumen terkait SDGs.
"Dan ketiga, menghasilkan pertumbuhan hijau dengan mendorong investasi dan merancang proyek-proyek hijau. Sehingga memberikan manfaat lingkungan, sosial, dnan ekonomi," tutupnya.
Sulaeman
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Rendahnya Pemahaman jadi Penyebab Sulitnya Perusahaan Wujudkan SDGs
Presiden IBCSD (Indonesian Business Council for Sustainable Development), Shinta Kamdani, mengakui jika kesadaran perusahaan di Indonesia akan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) masih rendah. Tercatat, saat ini baru ada 27 persen perusahaan yang siap mengintegrasikan SDGs ke dalam supply chain atau rantai pasok.
"Memang dari kesadaran perusahaan juga masih rendah akan pentingnya SDGs. Kita mencatat saat ini baru 27 persen yang siap mengintegrasikan sustainability ke supply chain," paparnya dalam webinar Unilever Kolaborasi dan Aksi Bersama Menuju Pembangunan Indonesia yang Berkelanjutan, Senin (23/11).
Menurut Shinta, setidaknya ada empat faktor utama penyebab belum maksimalnya upaya penerapan SDGs oleh perusahaan di dalam negeri. Pertama, rendahnya pemahaman perusahaan atau pelaku usaha terkait konsep SDGs.
"Pemahaman perusahaan akan pembangunan berkelanjutan itu apa yang benar masih terbatas. Jadi, kendala utama lebih ke pengertian (SDGs) sendiri," paparnya.
Alhasil, selama ini perusahaan menilai program CSR sudah cukup untuk mewakili konsep SDGs. "Padahal pembangunan berkelanjutan ini tidak hanya dengan CSR saja, itu kan lebih itu," paparnya.
Faktor kedua terkait regulasi. Alhasil upaya untuk mempercepat tranformasi renewable energy atau energi terbarukan menjadi terhambat.
"Kita lihat secara teknik, di Indonesia banyak sektor masih kendala SDGs. seperti renewable energy itu masih sulit dilakukan karena belum ada perbaikan regulasi. Sehingga sampai saat ini energi kotor masih banyak dipakai," terangnya.
Ketiga, rendahnya pengetahuan Human Capital sejumlah perusahaan akan SDGs. "Sehingga sedikit perusahaan yang siap untuk melakukan integrasi proses bisnis secara SDGs," tutupnya.
Terakhir, infrastruktur dasar yang belum terintegrasi. "Untuk menciptakan ekosistem SDGs infrastruktur dasar itu penting. Maka pemerintah harus memberikan basic infrastruktur penunjang," terangnya.
Advertisement