Liputan6.com, Jakarta Presiden IBCSD (Indonesian Business Council for Sustainable Development), Shinta Kamdani, mengakui jika kesadaran perusahaan di Indonesia akan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) masih rendah. Tercatat, saat ini baru ada 27 persen perusahaan yang siap mengintegrasikan SDGs ke dalam supply chain atau rantai pasok.
"Memang dari kesadaran perusahaan juga masih rendah akan pentingnya SDGs. Kita mencatat saat ini baru 27 persen yang siap mengintegrasikan sustainability ke supply chain," paparnya dalam webinar Unilever Kolaborasi dan Aksi Bersama Menuju Pembangunan Indonesia yang Berkelanjutan, Senin (23/11).
Baca Juga
Menurut Shinta, setidaknya ada empat faktor utama penyebab belum maksimalnya upaya penerapan SDGs oleh perusahaan di dalam negeri. Pertama, rendahnya pemahaman perusahaan atau pelaku usaha terkait konsep SDGs.
Advertisement
"Pemahaman perusahaan akan pembangunan berkelanjutan itu apa yang benar masih terbatas. Jadi, kendala utama lebih ke pengertian (SDGs) sendiri," paparnya.
Alhasil, selama ini perusahaan menilai program CSR sudah cukup untuk mewakili konsep SDGs. "Padahal pembangunan berkelanjutan ini tidak hanya dengan CSR saja, itu kan lebih itu," paparnya.
Faktor kedua terkait regulasi. Alhasil upaya untuk mempercepat tranformasi renewable energy atau energi terbarukan menjadi terhambat.
"Kita lihat secara teknik, di Indonesia banyak sektor masih kendala SDGs. seperti renewable energy itu masih sulit dilakukan karena belum ada perbaikan regulasi. Sehingga sampai saat ini energi kotor masih banyak dipakai," terangnya.
Ketiga, rendahnya pengetahuan Human Capital sejumlah perusahaan akan SDGs. "Sehingga sedikit perusahaan yang siap untuk melakukan integrasi proses bisnis secara SDGs," tutupnya.
Terakhir, infrastruktur dasar yang belum terintegrasi. "Untuk menciptakan ekosistem SDGs infrastruktur dasar itu penting. Maka pemerintah harus memberikan basic infrastruktur penunjang," terangnya.
Â
Genjot Daya Saing, Kemenperin Akselerasi Industri 4.0 untuk SDGs
Industri 4.0 menjadi harapan dan tantangan bagi Indonesia, khususnya sektor kelestarian lingkungan hidup serta industri ramah lingkungan, agar sesuai tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs).
Hal itu sejalan arahan Menperin, Agus Gumiwang Kartasasmita, dalam World Economic Forum (WEF) 2020 di Davos, Swiss. Di mana mengajak para stakeholder industri berkolaborasi membangun daya saing sektor industri manufaktur berkelanjutan serta membangun keunggulan kompetitif yang berwawasan lingkungan.
Dengan mengakomodasi standar sustainability untuk industri yang dapat dicapai dengan penerapan industri hijau. Terkait itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin melalui satkernya Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI) Semarang melaksankaan Seminar Nasional Teknologi Industri Hijau 3 (SNTIH3) bertema Making Indonesia 4.0: Green Technology Innovation Toward Sustainable Industry.
Kegiatan secara online tersebut menghadirkan narasumber Kepala BPPI, Gubernur Provinsi Jateng, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marinves dan Dekan Malaysia Japan International Institute of Technology (MJIIT), UTM Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam sambutannya, Kepala BPPI, Doddy Rahadi, menyampaikan pentingnya penerapan sustainable development pada industri diimplementasikan. Di mana industri hijau harus jadi role model di masa depan.
"Kemenperin komitmen dengan industri hijau jadi bagian dari tujuan pembangunan industri nasional sesuai UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Karena industri Hijau marupakan icon di mana industri dalam proses produksinya menerapkan upaya efisiensi dan efektivitas pemakaian sumber daya secara berkelanjutan," katanya, Kamis (15/10/2020).
Salah satu strategis yang akan dijalankan pemerintah, menurutnya, melalui circular economy pada industri. Yaitu menerapkan 5R (Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Repair). Dengan begitu material mentah dapat digunakan berkali-kali dalam berbagai daur hidup produk. Sehingga ekstraksi bahan mentah dari alam bisa lebih efektif dan efisien.
"Selain itu, circular economy juga akan mengurangi limbah yang dihasilkan, karena akan diolah lagi jadi produk yang punya nilai tambah secara ekonomi," urai Doddy.
Advertisement