Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengakui pertumbuhan penjualan secara digital meningkat pesat di tengah pandemi Covid-19. Namun, dipastikan peningkatan ini belum mampu menutup pendapatan penjualan secara offline.
"Eh gini, jadi memang kalau penjualan secara online itu tumbuh tinggi saat ini. Tapi, tidak bisa menggantikan pendapatan dari yang jualan offline," ujar dia dalam webinar bertajuk Implementasi PPKM Jawa-Bali: Kesiapan Sektor Bisnis dan Pelaku Usaha, Jumat (8/1).
Baca Juga
Dia mencontohkan, gap ini tercermin jelas di kinerja sektor usaha makanan dan minuman. Kendati dia tak merinci besaran nilai gap yang dimaksud.
Advertisement
"Ternyata kontribusi (pendapatan) offline jauh lebih besar ketimbang online di sektor makanan dan minuman selama pandemi ini," terangnya.
Pun, aneka jenis produk yang dipasarkan secara online dipastikan tidak semuanya laku dibeli konsumen. Khususnya produk-produk yang digunakan diluar kebutuhan sehari-hari.
"Jadi, produk online yang diminati itu lebih untuk digunakan dalam kebutuhan harian. Seperti untuk kebutuhan konsumsi itu naik. Tapi tetap ga bisa menggantikan (pendapatan) dari offline," tukasnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
40 Persen Swalayan di Indonesia Timur Tutup Imbas Pandemi Covid-19
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan banyak toko ritel di wilayah Indonesia Timur yang tutup selama pandemi Covid-19 berlangsung.
Toko ritel yang tutup ini biasanya milik pengusaha UMKM atau pengusaha lokal.
"Banyak (swalayan) yang tutup di Indonesia Timur," kata Roy dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk Efek Resesi di Tengah Pandemi, Jakarta, Sabtu (7/11/2020).
Toko ritel lokal ini kata Roy biasanya bergerak sendiri-sendiri. Mereka sudah tidak lagi bisa bertahan karena kehabisan modal dan berakhir dengan gulung tikar.
Setidaknya 40 persen toko ritel di Indonesia Timur tutup karena daya beli masyarakat menurun. "Contohnya 40 perse. Di Indonesia Timur tutup," kata dia.
Roy melanjutkan, kondisi ini terjadi juga dipicu dari penempatan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di bank belum bisa diakses para pelaku usaha di daerah. Mereka masih mengalami kesulitan akses mendapatkan pembiayaan sehingga akhirnya gulung tikar.
"Dana PEN yang disalurkan ke Bank ini mereka tidak kebagian. Untuk jalankan ritel kan butuh modal kerja," kata dia.
Selain itu, pengusaha ritel modern di daerah juga belum mendapatkan akses permodalan yang disubsidi pemerintah. Selama ini pembiayaan pengusaha ritel lokal masih menggunakan pinjaman konvensional.
Bunga pembiayaan lu masih sekitar 10-12 persen. Sehingga jika pegusaha ritel lokal ini tidak mampu melanjutkan usaha di masa pandemi ini.
"Maka ketika harus tetap buka, Meraka sangat tergopoh-gopoh. Kalau harus ekspansi modalnya sudah terpakai," kata dia mengakhiri.
Merdeka.com
Advertisement
Pengusaha Ritel Ngeluh, Orang Kaya Belum Mau Belanja
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey, mengaku panic buying di awal pandemi Covid-19 membuat pengusaha ritel modern untung. Namun keuntungan ini berlangsung singkat, hanya selama 2-3 hari saja.
"Waktu panic buying itu 2-3 hari bagus buat kita," kata Roy dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk Efek Resesi di Tengah Pandemi, Jakarta, Sabtu (7/11/2020).
Kala itu dia memastikan berbagai produk kebutuhan masyarakat tersedia dalam jumlah yang cukup. Sehingga masyarakat tidak perlu berbelanja dalam jumlah besar karena takut kehabisan bahan makanan.
Namun setelahnya sektor ritel modern juga mengalami penurunan pendapatan sebagaimana yang dialami sektor usaha lainnya. Kunjungan masyarakat ke ritel modern menurun. Hingga kini pengunjung yang berbelanja juga belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan pola konsumsi.
"Setelah itu sampai saat ini kondisinya belum kembali yang dalam posisi normal," ungkap Roy.
Ini sejalan dengan indeks konsumsi yang dirilis Bank Indonesia, sektor konsumsi menjadi hal fundamental. Indeks penjualan riil masih minus dibawah 10 persen. Mulai ada kontraksi positif namun terbilang masih rendah.
"Ada kontraksi positif, tapi ini angkanya masih single digit, sekitar 5-6 persen," kata dia.