BPN: Ada 130 Kasus Mafia Tanah Selama 2018-2021

BPN mengungkapkan kesulitan dalam mengatasi masalah membongkar tindakan mafia tanah ini adalah infrastruktur hukum perdata

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Feb 2021, 20:15 WIB
Diterbitkan 27 Feb 2021, 20:15 WIB
Bersama Kementerian ATR/BPN, Polda Metro Jaya Ungkap Sindikat Mafia Tanah
Petugas menunjukkan perbedaan sertifikat tanah asli dan palsu saat rilis kasus sindikat mafia tanah di Jakarta, Rabu (12/2/2020). Subdit II Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya bersama Kementerian ATR/BPN berhasil mengungkap sindikat mafia tanah dan menahan 10 tersangka. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat setidaknya terdapat 130 kasus mafia tanah yang telah diterima sejak tahum 2018 sampai dengan tahum 2021 yang terdiri dari sengketa dan konflik pertanahan.

"Pertama Jumlah kasus mafia tanah itu dari 2018 sampai 2021 itu ada 130 memang tiap tahun itu ada target- targetnya itu, tahun ini targetnya 38. Jadi banyak mafia itu dan itu kan bagian dari konflik dan sengketa," sebut Tenaga Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Hukum dan Litigasi, Iing Sodikin dalam diskusi TrijayaFM, Sabtu (27/2/2021).

Iing menjelaskan kesulitan dalam mengatasi masalah membongkar tindakan mafia tanah ini adalah infrastruktur hukum perdata yang kerap dipermainkan oleh para pelaku mafia tanah. Dengan sengaja berpura mengajukan gugatan antara dua pihak yang sudah bersekongkol tanpa melibatkan pemilik tanah yang asli, agar mendapatkan putusan dari pengadilan.

"Bagaimana ada orang yang pura-pura menggugat. Sebetulnya pada hukum perdata itu siapa yang bisa membuktikan hak dia harus membuktikan. Mana kala orang ingin sepakat menggugat tapi yang menguasai (pemilik tanah yang sah) tak dilibatkan itu sering menjadi problem. Sebenarnya itu plurium litis consortium (gugatan kurang pihak) yang keputusan itu kontroversial," jelasnya.

Oleh karena itu, ia menilai kalau kasus mafia tanah telah menjadi kejahatan Extra Ordinary Crime ( menghilangkan hak asasi manusia) yang harus dilakukan pemberantasan secara bersama-sama dengan institusi lainya.

"Artinya kejahatan Extra Ordenary yang harus bersama sama penegak hukumnya, kepolisian, Jaksa, KPK, sebetulnya tahu aktor-aktor mafia tanah di tiap-tiap provinsi kalau dia tahu. Bagaimana okupasi ilegalnya ya,"

"Di pertanahan ini tidak ada norma yang kuat norma pertanahan selain itu hanya ada di KUHP Bab 623 pemasulan hanya di undang-undang 61 PP larangan penguasaan tanpa hak itu juga deliknya hanya 3 bulan. Jadi ini juga yang konsep dalam undang-undang oertanahanan yang dibahas tapi tidak jadi, penguasaan tanpa hak itu deliknya lima tahun," tambahnya.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Contoh Kasus

Sertifikat Tanah
Sertifikat Tanah

Pada kesempatan yang sama, Sekjen Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), Agus Mulyadi menyampaikan sampai dengan saat ini pihaknya telah menerima pengaduan dari berbagai pihak yang mengalami perampasan tanah oleh para mafia tanah.

"Kalau betul semuanya datang stadion utama Senayan tidak cukup, ini disini ada Kiray nah ini cuman ada tiga orang. Kalau bapak pernah ke Cipete Utara itu ada 600 kepala keluaga yang tinggal dari tahun 30 ini contohnya," sebut Agus.

Agus menceritakan banyak contoh kasus mafia tanah yang dialami para korban, mukai dari sertifikat hak milik yang ketika dibalik nama tidak kembali lagi kepada pemiliknya. Oleh karena itu, Agus menjelaslan kalau kasus yang ditangani oleh pihaknya adalah perampasan tanah bukan dalam kasus sengketa yang terjadi karena adanya hubungan keluarga atau diperdagangkan.

"Jadi yang tegas perampasan tanah itu, tanahnya Bu Ace tiba-tiba ada rekayasa diambil. Itu adalah perampasan, jadi saya ingin tegaskan semuanya itu dikesankan sengketa itu bisa perdata, keluarga selesai. Tapi kalau perampasan itu pasti yang merampas itu jauh lebih kuat punya jaringan," tegasnya.

"Lawannya bisa jadi oknumnya bisa jadi ada BPN, kepolisian, bisa jadi ada di kejaksaan, bisa jadi ada di kelurahan kecamatan, bisa jadi di pengadilan.Kemudian juga sertifikat yang dirampas itu artinya tanah yang diambil itu sertifikatnya asli. Jadi palsu itu prosesnya, tapi ini (setifikatnya) asli kira-kira seperti itu," tambahnya.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya