Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi mengatakan, sebanyak 70 persen produk sawit Indonesia sudah dipasarkan di dunia.
Hal ini tentu sejalan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Baca Juga
"Saat ini sebanyak 70 persen produk sawit Indonesia sudah dipasarkan di pasar dunia," ujarnya dalam diskusi Masa Depan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Menuju Pengakuan Internasional, Senin (7/6).
Advertisement
Dia mengatakan kinerja kelapa sawit yang cukup bagus tersebut harus dijaga dan ditingkatkan lagi daya saingnya di pasar dunia, agar semakin baik. Oleh karenanya tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus terus tingkatkan dan diperkuat melalui regulasi sertifikasi ISPO.
Berdasrkan catatan Kementan hingga 31 Desember 2020 lalu terbit sebanyak 750 sertifikat ISPO. Di mana sebanyak 735 sertifikat diberikan kepada perusahaan PT PN dan swasta. Sementara sisanya diberikan bagi para pekebun sawit.
Dia menambahkan, di tengah pelambatan ekonomi sektor pertanian pada 2020 masih tunbuh positif sebesar 1,75 persen. DI mana kepala sawit menjadi salah satu kontributor utama yang masih memberikan sumbangsing terhadap PDB Indonesia.
"Pada tahun 2020 kinerja nya untuk ekspor meningkat naik 13,6 persen nilainya tentu ini sesuatu hal yang membanggakan bagi kita semuanya," tandasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Produk Kelapa Sawit Indonesia Kian Diterima Negara-Negara Eropa
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga mengapresiasi negara-negara EFTA yang telah menandatangani perjanjian ekonomi komprehensif Indonesia-EFTA CEPA.
Menurut Wamendag itu merupakan peluang yang sangat positif, termasuk dalam kaitannya dengan penerimaan produk kelapa sawit Indonesia. Seperti diketahui, kelapa sawit Indonesia telah diperlakukan berbeda dengan produk minyak nabati lainnya di Kawasan Uni Eropa.
Wamendag menilai bahwa penerimaan EFTA terhadap produk kelapa sawit Indonesia ini menunjukkan bahwa resistensi sebenarnya tidak dilakukan oleh semua negara Eropa. Bahkan di Uni Eropa hanya beberapa negara saja yang kebetulan punya pengaruh di parlemen yang menghambat perdagangan kelapa sawit Indonesia di Kawasan itu.
“Empat negara tersebut, yaitu Lietchtenstein, Swiss, Norwegia dan Islandia menambah deretan negara-negara Eropa yang sebenarnya menerima kelapa sawit kita. Kalau kita bertemu dengan pemerintah maupun parlemen di banyak negara Eropa sebenarnya memang menunjukkan sambutan yang positif,” kata Wamendag, Jumat (7/5/2021).
Melihat kecenderungan itu, Wamendag makin optimis dengan arah perjuangan Indonesia untuk menghapus diksriminasi ini. Pada intinya menurut jerry, negara-negara Uni Eropa harus melihat persoalan sawit dengan obyektif dan proporsional. Kebutuhan minyak nabati semakin besar di seluruh dunia. Tidak semua sumber minyak nabati bisa memenuhi kebutuhan dengan efisien seperti kelapa sawit.
“Dilihat secara relative dan obyektif. Kalau kita menanam sumber minyak nabati lain seperti rapeseed, sebenarnya kebutuhan lahan dan dampak ekologisnya 6 kali lebih besar dari kelapa sawit. Jadi secara ekologis dan ekonomi tidak efisien. Justru kelapa sawit menjadi solusi yang tepat untuk itu,” papar Wamendag.
Advertisement
Industri Sawit Terus Berkembang
Jerry juga menilai bahwa teknologi perkebunan, pemupukan, pengolahan air, pengolahan dan berbagai hal yang berkaitan dengan industri kelapa sawit terus berkembang. Ini membuat kelapa sawit akan makin efisien secara ekologis. Selain itu standarisasi produksi dan lingkungan kelapa sawit juga semakin ketat.
“jadi sebenarnya produk kelapa sawit kita itu sudah melewati berbagai standarisasi dan penjaminan mutu produk serta dampaknya dalam berbagai sisi. Banyak sertifikasi yang harus dipenuhi dan itu tidak mudah karena melibatkan berbagai Lembaga yang kompeten,” tambah Wamendag.
Untuk itu ia berharap bahwa parlemen dan eksekutif Uni Eropa melihat dengan kerangka yang lebih luas, bukan hanya dalam perspektif persaingan dagang. Ia berharap kelapa sawit justru memicu inovasi baru untuk menghasilkan minyak nabati yang makin baik dan murah.
Indonesia saat ini sedang bersiap menghadapi sidang-sidang mengenai diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa di WTO. Sidang kasus berkode DS 593 tersebut dihadapi optimis oleh Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Perdagangan.