Pengamat: Tarif PPN Indonesia Masih Rendah Dibandingkan Rata-Rata Dunia

PPN Indonesia saat ini masih relatif rendah dibandingkan rata-rata global sebesar 15,4 persen.

oleh Andina Librianty diperbarui 10 Jun 2021, 17:30 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2021, 17:30 WIB
Masih Bingung, Siapa Saja yang Harus Bayar Pajak?
Yuk, bayar pajak untuk pembangunan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia saat ini masih relatif rendah dibandingkan rata-rata global sebesar 15,4 persen. Hal ini diungkapkan oleh Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji.

"Saat ini tarif PPN di Indonesia masih relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 15,4 persen (127 negara). Sehingga ruangnya kenaikan masih terbuka," kata Bawono kepada Liputan6.com pada Kamis (10/6/2021).

Dijelaskannya, selama satu dekade terakhir juga terdapat tren kenaikan tarif PPN secara global atau di berbagai kawasan. Di saat yang bersamaan terdapat penurunan tarif PPh Badan.

"Oleh karena itu, terdapat dugaan bahwa kenaikan tarif PPN juga dimaksudkan sebagai alat untuk mengkompensasi revenue forgone akibat penurunan tarif PPh Badan," tuturnya.

Sejatinya, praktik yang berlaku secara internasional saat ini adalah umumnya seluruh barang dan jasa dikenakan PPN. Namun, menurut Bawono, untuk beberapa jenis barang dan jasa tertentu, semisal yang strategis dan merupakan kebutuhan pokok atau esensial, diberikan tarif yang lebih rendah (reduced rate).

Pemerintah sendiri saat ini tengah berencana mengenakan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok atau sembako. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, pun menanggapi banyaknya komentar dari masyarakat tentang rencana tersebut.

Menurutnya, pajak untuk sembako tersebut juga tidak akan dikenakan secara sembarangan.

"Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, tidak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil!," demikian tulis Yustinus melalui akun Twitter @prastow, dikutip pada Kamis (10/6/2021).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Sembako hingga Pasir Bakal Kena PPN 12 Persen, Ini Daftar Lengkapnya

DJP Riau-Kepri Pidanakan 2 Pengemplang Pajak
Ilustrasi: Pajak Foto: Istimewa

Pemerintah berencana akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako). Ketentuan PPN sembako ini telah diterbitkan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Mengacu Pasal 4A RUU KUP, Kamis (10/6/2021), sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Sembako sebagai barang yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebelumnya tidak dikenakan PPN, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.

Dengan begitu, ada 13 kategori sembako pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 yang nantinya akan dikenai PPN, antara lain:

1. Beras dan Gabah

2. Jagung

3. Sagu

4. Kedelai

5. Garam Konsumsi

6. Daging

7. Telur

8. Susu

9. Buah-buahan

10. Sayur-sayuran

11. Ubi-ubian

12. Bumbu-bumbuan

13. Gula Konsumsi


Barang Hasil Tambang

Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Tidak hanya sembako, jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya juga kini dihapus dari daftar pengecualian PPN.

Seperti dikutip dari PP Nomor 144/2000, berikut daftar hasil pertambangan/pengeboran yang akan dikenakan PPN:

1. Minyak Mentah (crude oil)

2. Gas Bumi

3. Panas Bumi

4. Pasir dan Kerikil

5. Batubara sebelum diproses menjadi Briket Batubara

6. Bijih Besi, Bijih Timah, Bijih Emas, Bijih Tembaga, Bijih Nikel, dan Bijih Perak serta Bijih Bauksit

Adapun besaran tarif PPN seperti diatur dalam Pasal 7 RUU KUP adalah 12 persen. Tarif PPN sendiri dapat diubah jadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya