Pengusaha: Harusnya Kenaikan PPN Mulai 2023

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Okt 2021, 19:30 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2021, 19:30 WIB
APRINDO
Roy N Mandey, Ketua Umum APRINDO.(ist)

Liputan6.com, Jakarta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen. Kebijakan yang disahkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP) ini akan mulai berlaku pada April 2022.

Menanggapi itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Roy Mandey menilai seharusnya implementasi kenaikan PPN tidak dilakukan pada tahun 2022. Sebab masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang penuh dengan ketidakpastian. Sehingga menurutnya aturan ini sebaiknya baru diberlakukan pada Januari 2023.

"Kalau bicara idealnya ini Januari 2023 lah, jangan 2022 karena kita enggak tahun kan tahun depan pandeminya sudah selesai apa belum," kata Roy saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Sabtu (9/10/2021).

Roy mengatakan walaupun pandemi Covid-19 selesai di tahun depan, maka sebaiknya pemerintah menunggu hingga 6 bulan masa transisi menuju era kenormalan baru. Setelah 6 bulan berjalan, barulah kenaikan tarif PPN diberlakukan. Sehingga sepanjang tahun 2022 difokuskan pada upaya pemulihan ekonomi nasional saja.

"Kalau pun sudah selesai kan ada masa yang transisi, istilahnya kebiasaan baru yang enggak bisa langsung recovery," kata dia.

Apalagi, masalah Covid-19 ini penuh dengan ketidakpastian. Potensi kenaikan kasus atau penyebaran mutasi virus corona masih menjadi tantangan.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Jangan Buru-Buru

Ilustrasi Pajak
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Roy menjelaskan, selama pandemi, apapun kebijakan yang berhubungan dengan kenaikan tarif atau pajak seharusnya tidak dilakukan buru-buru. Kenaikan ini akan membuat daya beli masyarakat menurun atau tertahan.

"Perhitungannya sederhana, dengan dikenakan pajak, orang akan menahan belanja. Akhirnya nilai pajaknya juga tidak tercapai. Kalau kenaikan terjadi April tahun depan, masyarakat bisa menahan belanja, atau mereka kurangi belanja," kata dia.

Akibatnya tujuan pemerintah untuk mendapatkan pendapatan lebih besar tidak tercapai. "Jadi kan enggak kecapai karena nilai transaksinya berkurang. Dinaikkan juga percuma kalau nilai transaksinya berkurang, enggak berdampak bagi harapan dapat pajak lebih," tutupnya.

 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya