Pantang Lelah, Ubah Sampah Jadi Berkah

Kelompok Petratonik Kampung Sungai Wain, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara, Balikpapan menjadi mitra binaan PT Kilang Pertamina Indonesia

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 15 Nov 2021, 20:45 WIB
Diterbitkan 15 Nov 2021, 20:45 WIB
Kelompok Petratonik Kampung Sungai Wain, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara, Balikpapan menjadi mitra binaan PT Kilang Pertamina Indonesia
Kelompok Petratonik Kampung Sungai Wain, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara, Balikpapan menjadi mitra binaan PT Kilang Pertamina Indonesia (dok: KPB)

Liputan6.com, Jakarta "Rame Ing Gawe Sepi Ing Pamrih". Pepatah Jawa ini memiliki arti banyak bekerja, tanpa menuntut balas jasa, demi kepentingan bersama. Penggalan kalimat inilah yang pantas untuk menggambarkan apa yang dilakukan Kelompok Petratonik Kampung Sungai Wain, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Petratonik merupakan mitra binaan dari PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) yang mengembangkan pertanian dan peternakan terintegrasi dengan memanfaatkan lalat Black Soldier Fly (BSF). Tidak banyak orang tahu bagaimana memanfaatkan Lalat Tentara Hitam ini untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, bahkan juga mampu membantu mengurangi pencemaran lingkungan. Kok bisa?

Konsep sederhananya, kelompok ini mengolah sampah organik menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomi, melalui perantara maggot atau belatung. Maggot sendiri adalah organisme yang berasal dari larva BSF dan dihasilkan pada metamorfosis fase kedua setelah fase telur dan sebelum fase kempompong yang nantinya akan menjadi BSF dewasa. Dari maggot inilah, Kelompok Petratonik menghasilkan pakan ternak yang kaya akan nutrisi.

Bermodalkan sebuah pekarangan di belakang rumah warga, Kelompok Petratonik ini memiliki tiga gubuk yang masing-masing memiliki fungsi. Gubuk pertama, sebagai tempat penampungan sampah organik. Gubuk kedua, sebagai tempat produksi maggot. Gubuk ketiga, sebagai tempat pengembangbiakan BSF.

Lokasi pekarangannya sendiri tidak terlalu nampak dari pinggiran jalan. Tujuannya, jika menumpuk sampah baunya tidak menganggu warga sekitar. Wajar, sampah yang dikumpulkan adalah sampah organik yang masih basah atau lembab.

Jalan aksesnya pun tidak mulus. Harus menyebrangi jembatan kayu papan kecil dan melewati jalan setapak yang jika hujan akan bercampur dengan lumpur.

Di area ini, setiap periode produksi, kelompok yang beranggotakan tujuh orang ini mengumpulkan sampah organik dari masyarakat sekitar, baik dari pasar atau rumah warga setempat. Sampah makanan menjadi modal unggulan untuk produksi maggot. Produksi maggot ini terbilang sederhana, karena tidak memerlukan air, listrik, bahan kimia, dan infrastruktur yang rumit dan mahal.

"Sampah organik kalau sudah terkumpul, dari sini (Gubuk 1) kemudian dipindahkan ke sana (Gubuk 2). Untuk jadi makanan dan tempat pengembangbiakan maggot," kata Ketua Kelompok Petratonik, Rebu saat berbincang dengan Liputan6.com seperti ditulis, Senin (15/11/2021).

Di Gubuk 2 ini, maggot dikembangkan di dalam wadah yang terbuat dari kayu, dialasi plastik, memanjang, dan memiliki tiga tingkat. Dari atas, hanya nampak sampah yang tergeletak, namun jika singkap, dibawahnya terdapat kumpulan maggot yang terus menggeliat.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Kaya Akan Nutrisi

Kelompok Petratonik Kampung Sungai Wain, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara, Balikpapan menjadi mitra binaan PT Kilang Pertamina Indonesia
Kelompok Petratonik Kampung Sungai Wain, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara, Balikpapan menjadi mitra binaan PT Kilang Pertamina Indonesia (dok: KPB)

Proses pengembangbiakan maggot sendiri terbilang singkat. Dari fase telur, dalam waktu 10 hari maggot sebenarnya sudah bisa dipanen. Saat itu, maggot sudah meiliki ukuran 15-20 milimeter (mm) dan terus bertambah besar hingga dimana maggot masuk ke fase kepompong pada hari ke-25. Baru setelah itu, kepompong ini dipindah ke Gubuk 3 untuk dilakukan pengembangbiakan BSF. Di Gubuk inilah telur-telur BSF dihasilkan.

Seperti diketahui, dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), maggot yang dihasilkan dari BSF mengandung protein yang tinggi antara 41-42 persen protein kasar, 31-35 persen ekstrak eter, 14-15 persen abu, 4,18-5,1 persen kalsium, dan 0,60-0,63 persen fosfor dalam bentuk kering. Berbagai kandungan inilah yang menjadi nutrisi hewan-hewan ternak, mulai dari ayam hingga ikan lele.

Kelompok Petratonik sendiri, saat ini tengah melakukan pengembangan budidaya ikan lele. Lokasi kolam ikan lelenya sendiri masih satu kompleks dengan pembudidayaan maggot. Tidak besar, baru dua petak kolam lele. Namun ini masih tahap awal.

Dari budidaya ikan lele yang baru berjalan kurang lebih tiga bulan tersebut, dengan maggot, mereka mampu menghemat biaya pakan hingga 30 persen. Ke depan, mereka punya rencana untuk pengembangan, dengan catatan pemasaran ikan lele hasil budidayanya lancar.

"Nanti kalau ikan lelenya panen bisa dijual, harganya sekitar Rp 20 ribu per kilogramnya. Ke depan, kami juga akan perluas kolam lelenya, sehingga produksi juga bertambah," papar Rebu.

Kelompok Petratonik sendiri sudah menjadi mitra binaan dari PT Kilang Pertamina Indonesia (KPI) Unit Balikpapan sejak 2019. Ada sejumlah alasan mengapa KPI memilih kelompok ini untuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Pertama, dengan pengembangbiakan maggot membantu perusahaan dalam menjalankan misi untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Kedua, bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat Kampung Sungai Wain.

 

Peningkatan Produksi

Kelompok Petratonik Kampung Sungai Wain, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara, Balikpapan menjadi mitra binaan PT Kilang Pertamina Indonesia
Kelompok Petratonik Kampung Sungai Wain, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara, Balikpapan menjadi mitra binaan PT Kilang Pertamina Indonesia (dok: KPB)

Area Manager Communication, Relations & CSR KPI Unit Balikpapan Ely Chandra Peranginangin menjelaskan, program pemberdayaan masyarakat ini dijalankan bekerjasama dengan Enviro Strategic Indonesia.

"Konsep awal pengembangan masyarakat ini adalah bagaimana masyarakat dapat turut menjaga lingkungan dengan melakukan pemilahan sampah organik dan non organik. Sampah-sampah organik kemudian dimanfaatkan sebagai media pengembangan lalat BSF," ujarnya.

Peningkatan produksi BSF terus dilakukan melalui pengembangan fasilitas pendukungnya. Saat ini sudah terdapat bangunan yang difungsikan sebagai tempat ruang produksi larva dan ruang perkembangbiakan BSF.

Dari periode Januari sampai dengan Oktober 2021, kelompok telah mampu menghasilkan sekitar 376 kg BSF. Sementara jumlah sampah organik yang dikelola mencapai 8.000 kg atau 8 ton.

"Proses menuju kemandirian tentunya memerlukan waktu. Program terintegrasi ini pada akhirnya nanti kami harapkan dapat meningkatkan pendapatan kelompok. Dan semoga prosesnya dapat berjalan dengan baik." tutup Chandra.

Apa yang dilakukan Rebu dan warga Sungai Wain ini tentunya tidak mudah dijalankan semua orang. Di saat orang-orang jijik dengan sampah, disaat orang-orang geli dengan belatung, Kelompok Petratonik justru mengubah semua itu menjadi suatu produk yang memiliki nilai ekonomi.

Tujuan Kelompok Petratonik ini awalnya hanya satu, mengurangi pencemaran lingkungan, ikhlas, tanpa berharap bantuan pemberdayaan dari manapun. Namun akhirnya Pertamina membantu.

Kini, misi mengurangi pencemaran lingkungan terus berjalan, dengan pemberdayaan masyarakat sebagai penggeraknya. Kalaupun ada penghasilan dari ujung kegiatan itu, itu berkah. Demi kesejahteraan keluarga mereka masing-masing.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya