Menghitung Pengaruh Harga Avtur Terhadap Kenaikan Tarif Tiket Pesawat

Pemerintah menyebut kenaikan harga tiket pesawat didorong faktor melambungnya harga avtur.

oleh Arief Rahman H diperbarui 12 Jun 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2022, 18:00 WIB
Pertamina Tetap Siagakan Stok Avtur Seluruh Bandara di Wilayah Jawa Bagian Tengah.
Pertamina Tetap Siagakan Stok Avtur Seluruh Bandara di Wilayah Jawa Bagian Tengah.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menyebut kenaikan harga tiket pesawat didorong faktor melambungnya harga avtur. Menurut simulasi perhitungan yang dilakukan, ternyata harga avtur tak sepenuhnya berpengaruh paling besar terhadap peningkatan biaya operasional maskapai.

Pengamat Penerbangan dan Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional Gatot Rahardjo mencoba menghitung dampak tingginya harga avtur terhadap operasional pesawat. Ia pun mengakui, harga avtur melambung tinggi dari harga pada 2019 lalu.

"Harga avtur rata-rata per barrel menurut Asosiasi Maskapai Penerbangan Internasional (IATA) pada tahun 2019 adalah USD79 dan tahun 2022 saat ini sekitar USD138. Artinya ada peningkatan sekitar USD60 atau 88 persen," kata dia dalam keterangannya, Minggu (12/6/2022).

Berdasar harga itu, Ia mencoba melakukan simulasi perhitungan tarif dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 tahun 2019. Dalam aturan itu, perhitungan tarif diambil dari perhitungan biaya operasi pesawat.

"Untuk pesawat jet, hasil total perhitungan biaya operasional ditambah 5 persen keuntungan maskapai merupakan tarif dasar dengan ketentuan bahwa perhitungan tersebut menggunakan tingkat keterisian penumpang pesawat 65 persen," kata dia.

Tarif dasar kemudian dikalikan dengan jarak rute sehingga menghasilkan tarif batas atas (TBA). Dengan demikian TBA Jakarta- Surabaya berbeda dengan Jakarta-Medan karena jaraknya juga berbeda.

Jadi, katanya, jika pesawat jet maskapai terisi penumpang (load factor/ LF) 65 persen dan maskapai menerapkan TBA, maka maskapai masih akan dapat keuntungan 5 persen. Kenyataanya sekarang, selain menerapkan TBA, tingkat keterisian pesawat rata-rata sudah hampir mendekati 100 persen atau boleh dibilang sekitar 90 persen.

Ia mensimulasikan itungan biaya dan pendapatan maskapai. Mengacu Permenhub 20/2019, perhitungan pendapat maskapai adalah tingkat keterisian dikalikan tarif batas atas (LF x TBA). Mengacu angka sebelumnya, berarti 65 (LF) x 100 (TBA) = 6.500.

"Jika harga avtur naik 90 persen, maka biaya avtur yang semula 35 (dari total biaya operasi) bertambah 35 x 90 persen = 31,5. Dengan dengan demikian total biaya menjadi 65 x (100 +31,5) = 8.547,5," terangnya.

"Pendapatan saat ini 90 (LF) x 100 (TBA) = 9.000. Jadi masih ada keuntungan sekitar 450 atau sekitar 7 persen dari tarif dasar. Ditambah keuntungan dari perhitungan tarif dasar 5 persen, maka keuntungan maskapai penerbangan saat ini sekitar 12 persen," tambah Gatot.

 

Hitungan Kasar

Mau Kebagian Tiket Pesawat Promo? Pakai 4 Siasat Jitu Ini
Ilustrasi tiket pesawat (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Gatot menegaskan, angka-angka yang digunakannya ini masih dalam hitungan kasar. Tujuannya, guna memberikan gambaran pengaruh harga avtur saat ini terhadap penerbangan.

Pada kenyataannya, ungkapnya, hanya maskapai full service yang boleh menerapkan TBA 100 persen. Maskapai medium hanya 90 persen dan LCC 85 persen. Namun ia menilai total biaya maskapai medium dan LCC juga lebih rendah dari full service.

"Dengan demikian, pernyataan dari Kementerian Perhubungan bahwa kenaikan avtur menjadi faktor penyebab terbesar harga tiket naik, tidak sepenuhnya benar. Karena saat ini tingkat keuntungan maskapai lebih besar dari keuntungan yang disyaratkan dalam perhitungan pada PM 20/2019," katanya.

"Apakah ini kesalahan maskapai? Tidak! Maskapai menjual tiket sesuai tarif yang telah ditetapkan pemerintah. Alasan yang logis adalah maskapai saat ini berusaha memulihkan pendapatan dan aliran dana (cash flow) setelah finansial mereka terdampak dahsyat oleh pandemi covid-19," tutur Gatot.

 

Jumlah Pesawat

Masa Kenormalan Baru, Slot Penerbangan Belum Dimanfaatkan Secara Optimal
Sejumlah pesawat maskapai penerbangan terparkir di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Senin (6/7/2020). Saat ini PT Angkasa Pura II mengaku slot terbang di Bandara Soekarno Hatta belum optimal dimanfaatkan oleh maskapai pada masa new normal ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Di sisi lain, pandemi Covid-19 menyebabkan kondisi finansial maskapai turun tajam karena jumlah penumpang yang diangkut juga turun hingga tersisa sekitar 40 persen. Akibatnya maskapai kekurangan dana untuk membayar sewa atau melunasi biaya perawatan pesawat. Maka pesawat pun ditarik oleh lessor atau ditahan oleh bengkel (MRO).

"Kondisi ini sebenarnya bisa sedikit diatasi jika sejak awal pandemi pemerintah memberi perhatian serius kepada maskapai. Pemerintah mungkin tidak boleh membantu finansial langsung kepada maskapai, kecuali maskapai BUMN. Tapi seharusnya pemerintah bisa membantu maskapai saat negosiasi dengan lessor atau MRO. Bantuan dari pemerintah ini bisa menjadi jaminan untuk menyakinkan lessor dan MRO bahwa maskapai tersebut masih akan hidup selama dan pasca pandemi," paparnya.

Ia memandang pemerintah juga seharusnya bisa membuat kebijakan terkait pengangkutan menggunakan pesawat secara adil selama pandemi sehingga maskapai tidak saling bersaing dengan menurunkan harga serendah mungkin. Dengan pembagian yang adil, maka tiap maskapai tetap akan mendapat pemasukan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Sementara itu, kebijakan pemerintah yang melonggarkan penggunaan kabin pesawat untuk mengangkut kargo, memang baik. Namun hal tersebut ternyata kurang dari cukup untuk membuat cash flow maskapai lancar.

"Baiklah, nasi sudah menjadi bubur. Jumlah pesawat sudah berkurang drastis. Namun ini bukan berarti kiamat penerbangan. Justru pada saat inilah maskapai bisa melakukan restrukturisasi bisnis," tegasnya.

 

Solusi

Masa Kenormalan Baru, Slot Penerbangan Belum Dimanfaatkan Secara Optimal
Sejumlah pesawat maskapai penerbangan terparkir di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Senin (6/7/2020). PT Angkasa Pura II (Persero) akan mengkordinasikan permintaan maskapai untuk slot penerbangan, rute penerbangan dan frekuensi penerbangan di dalam satu rute. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Resktrukturisasi bisnis yang dimaksud Gatot bisa dilakukan dengan beberapa cara. Misalnya mengalihkan operasional di rute-rute penerbangan yang kurang menguntungkan.

"Rute-rute yang kurang bagus bagi pesawat jet, bisa dilempar ke pesawat turboprop. Pesawat yang biasanya hanya dipakai 3-4 jam sehari, bisa dimaksimalkan lagi menurut perhitungan masing-masing. Dengan restrukturisasi ini tingkat LF juga akan lebih tinggi," katanya.

Dengan tingkat keterisian yang tinggi membuat pemasukan maskapai lebih besar sehingga krisis finansial bisa cepat diatasi. Harga tiket pesawat pun akan bisa turun lagi.

"Memang akan ada rute yang berkurang frekuensi penerbangannya atau bahkan ditutup sementara. Tapi nanti kalau maskapai sudah kuat dan permintaan masyarakat meningkat, pasti frekuensi penerbangan akan naik," katanya.

Ia memandang jika rute penerbangan komersial yang ditutup, untuk sementara seharusnya bisa diterbangi oleh penerbangan perintis yang disubsidi pemerintah.

"Pemerintah tidak perlu risau, namun cukup membuat kebijakan yang dapat digunakan maskapai untuk mempercepat pemulihan finansial maskapai. Membuat iklim bisnis yang adil sehingga semua maskapai bisa tumbuh dan berkembang serta dapat menarik investor baru ke bisnis ini," tukasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya