DPR Soroti Peningkatan Rasio Utang Pemerintah

Anggota DPR RI menyoroti peningkatan rasio utang pemerintah yang terus terjadi. Hal ini terungkap dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (5/7/2022).

oleh Arief Rahman H diperbarui 05 Jul 2022, 18:15 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2022, 18:11 WIB
Ilustrasi Utang. Dok Kemenkeu
Ilustrasi Utang. Dok Kemenkeu

Liputan6.com, Jakarta Anggota DPR RI menyoroti peningkatan rasio utang pemerintah yang terus terjadi. Hal ini terungkap dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (5/7/2022).

Hampir setiap fraksi yang menyampaikan pandangannya memberikan catatan terkait utang pemerintah. Misalnya, Juru Bicara Parta Nasdem Haerul Amri yang turut memberikan pandangan.

Ia menyebut, Fraksi Partai Nasdem menyoroti peningkatan porsi kewajiban pemerintah sebesar Rp Rp 7.538,3 triliun atau 13,7 persen dari kewajiban pemerintah per 31 Desember 2021.

Kemudian, kewajiban pemerintah tersebut merupakan kewajiban jangka pendek sebesar Rp 693,4 triliun dan kewajiban jangka panjang sebesar Rp 6.844,9 triliun.

"Peningkatan tersebut sebagian besar berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN," katanya dalam Rapat Paripurna dengan pembahasan RUU Penanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN 2022, di Ruang Rapat Paripurna, Gedung DPR, Selasa (5/7/2022).

Hal yang sama diungkap Juru Bicara PKB Muhammad Kadafi. Dalam salah satu poinnya, ia menyoroti rasio utang pemerintah yang harus bisa diturunkan kedepannya.

"Beban utang pemerintah harus diturunkan karena beban bunga utang saat ini sudah sangat besar hingga menelan biaya tinggi," terangnya.

Sementara itu, Juru Bicara Parta Demokrat Suhardi Duka menyoroti tingkat bunga dan yield utang pemerintah. Ia menilai tingkat itu masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.

"karena realisasi rata-rata tingkat suku bunga perbendaharaan negara 10 tahun pada tahun 2021 sebesar 6,38 perse, untk kedpan dieprlukan sumber pembiayaan yang lebih murah sehingga tingkat buga dan yield surat utang tak jadi beban APBN," tuturnya.

 

Sinyal Buruk

Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Foto: Freepik
Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Foto: Freepik

Hal yang serupa disampaikan oleh Juru Bicara PKS Hermanto. Ia memandang peningkatan rasio utang pemerintah menjadi sinyal buruk bagi kinerja pemerintah.

"Fraksi PKS Memandang bahwa kenaikan rasio utang tahun 2021 menjadi sebesar 40,74 persen dari PDB menjadi sinyal buruk terhadap kinerja pemerintah," tegasnya.

Pada kesempatan selanjutnya, Juru Bicara PAN Athari Ghauthi Ardi membeberkan hitungannya terkait rasio utang pemerintah. Ia mencatat pemerintah perlu waspada terhadap peningkatan rasio utang yang terjadi.

Meski, pada 2021 lalu masih berada di bawah ambang batas 60 persen dari PDB. Ia pun menuturkan peningkatan rasio utang terhadap PDB dari tahun ke tahun.

"Pada 2016 rasio utang pmerinah terhadap PDB serbesar 24,3 persen terus meningkat dair waktu ke waktu hingga 2021 rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 41 persen atau terus meningkat dari posisi akhir di 2020 sebesar 32,1 persen terhadap PDB," terang dia.

Kendati begitu, ia menyebut Fraksi PAN memahami utang yang dilakukan oleh pemerintath adalah kebijakan rasional. Misalnya untuk mengakselerasi atau menyelesaikan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan.

"Namun demikian fraksi PAN tetap mengingatkan pmerintah agar utang dikelola dengan hati-hati kredibel, terukur, proporsional agar terhindar dari jebakan utang sehingga utang benar-benar bermanfaat bagi indonesia," tutupnya.

 

Tak Akan Krisis

Pertumbuhan Ekonomi 2022 Akan Meningkat
Anak-anak dengan latar gedung bertingkat bermain di Jakarta, Sabtu (19/3/2022). Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat lebih tinggi, pada kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen, dari pertumbuhan 3,69 persen pada 2021. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah memastikan Indonesia tidak akan mengalami krisis ekonomi pasca pandemi Covid-19 seperti yang terjadi pada 2 negara yakni Sri Lanka dan Pakistan.

Alasannya, sejak sebelum pandemi terjadi, pemerintah sangat disiplin dalam mengelola standar kebijakan fiskal.

Sehingga Indonesia menjadi negara yang berdaya tahan (resilien) dalam menghadapi krisis pandemi dan gejolak global.

"Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter ini sejak lama prudent dan konservatif. Kebijakan fiskal kita disiplin, defisit kita dibawah 3 persen dari PDB dan utang kita dibawah 30 persen dari PDB," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Jakarta, Kamis (23/6/2022).

Febrio menjelaskan sejak tahun 2019 keuangan Sri Lanka dan Pakistan sudah tidak sehat. Hal ini tercermin dari utang pemerintah Sri Lanka yang mencapai 87 persen dari PDB sebelum pandemi. Defisit fiskalnya pada tahun 2019 mencapi 9,6 persen dari PDB.

Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di Pakistan. Sampai tahun 2019, utang Pemerintah Pakistan mencapai 86 persen dari PDB dan defisit fiskal 9,1 persen dari PDB.

 

Jauh Berbeda

FOTO: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dari data tersebut, kondisi Indonesia dengan Sri Lanka dan Pakistan jauh berbeda. Menurut Febrio disiplin fiskal menjadi modal utama dalam menghadapi ketidakpastian global.

"Disiplin fiskal Indonesia modal untuk menghadapi ketidakpastian di tahun 2020 dan 2021 dan modal ekonomi kita ke depan," kata dia.

Di sisi lain, tingkat inflasi Indonesia dalam 5 tahun terakhir masih di bawah 5 persen. Neraca berjalan juga mengalami surplus. Belum lagi Indonesia tengah menikmati keuntungan dari kenaikan harga komoditas. Mulai dari ekspor nikel, batubara, CPO dan yang lainnya.

"Jadi memang enggak fair kalau dibandingkan dengan Sri Lanka dan Pakistan," kata dia mengakhiri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya