Larangan Ekspor Dicabut, Harga TBS Sawit Belum Naik

Pelarangan ekspor sawit menyebabkan petani tidak dapat menjual Tandan Buah Segar (TBS) kepada industri. Harga TBS kemudian jatuh, atau buahnya membusuk di pohon.

oleh Tira Santia diperbarui 01 Agu 2022, 15:10 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2022, 15:10 WIB
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan ekonomi dan masyarakat FEB UI Eugenia Mardanugraha dalam Diskusi Virtual : Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Goreng Bagi Petani Swadaya, Senin (1/8/2022).
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan ekonomi dan masyarakat FEB UI Eugenia Mardanugraha dalam Diskusi Virtual : Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Goreng Bagi Petani Swadaya, Senin (1/8/2022).

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan ekonomi dan masyarakat FEB UI Eugenia Mardanugraha, mengatakan ekspor kelapa sawit sangat penting bagi kesejahteraan petani swadaya.

Pelarangan ekspor sawit menyebabkan petani tidak dapat menjual Tandan Buah Segar (TBS) kepada industri. Harga TBS kemudian jatuh, atau buahnya membusuk di pohon.

“Ini yang menjadi penyebab utama mengapa kemudian petani mengalami penderitaan, ketika momentum pelarangan ekspor tersebut,” kata Eugenia, dalam Diskusi Virtual : Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Goreng Bagi Petani Swadaya, Senin (1/8/2022).

Meskipun larangan ekspor telah dicabut, harga TBS tidak serta merta naik, sampai hari ini pun petani masih belum merasakan harga meningkat sesuai dengan harga internasional.

Sementara, harga TBS merupakan indikator utama kesejahteraan petani. Harga TBS yang tinggi, mencerminkan tingginya kesejahteraan petani. Sebaliknya terpuruknya harga TBS seperti yang terjadi saat ini, sangat memukul kesejahteraan petani, khususnya petani swadaya.

Dengan demikian peningkatan ekspor CPO merupakan kunci kenaikan harga TBS. Semakin besar CPO yang diekspor, maka TBS akan terserap seluruhnya oleh perusahaan kelapa sawit (PKS), kemudian kenaikan permintaan TBS akan meningkatkan harga TBS.

“Itu mekanisme ekonomi yang terjadinya seperti itu, ketika ada permintaan naik maka harga naik, kalau harga naik maka petani swadaya meningkat kesejahteraannya,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini diperlukan peningkatan ekspor yang sangat tinggi, untuk mencapai harga TBS sebagaimana diharapkan oleh petani swadaya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Petani Swadaya Perlu Diperhatikan

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja mengangkut cangkang sawit di atas rakit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Dia menegaskan petani swadaya itu perlu diperhatikan. Karena kontribusinya cukup besar di dalam produksi CPO. Berdasarkan data tahun 2020, perkebunan rakyat itu 34,62 persen produksi CPO dari perkebunan rakyat, dan perkebunan besar swasta 60,22 persen, dan perkebunan besar negara 5,16 persen.

Sementara, berdasarkan data tahun 2021 dilihat dari luas area perkebunan rakyat sekitar 40,34 persen kontribusi petani swadaya terhadap produksi CPO.

Petani swadaya sangat perlu diperhatikan, sebab ada tiga hal kendala dan dilema yang dihadapi petani swadaya. Pertama, produktivitas yang relatif rendah. Kedua, ketergantungan pada pedagang perantara. Ketiga, tidak terlindungi oleh harga patokan TBS.

“Jadi, kami melakukan survei ke Kalimantan Barat dan Riau,” pungkasnya.

 

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Menko Luhut Senang China Tambah Impor 1 Juta CPO Indonesia, Kenapa?

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja sedang menebang pohon di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Sebelumnya, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau China menegaskan komitmen untuk menambah impor Crude Palm Oil atau CPO dari Indonesia sebesar 1 juta ton.

Impor 1 Juta sawit ini merupakan hasil pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri RRT Li Keqiang di Beijing, Selasa, 26 Juni 2022.

Komitmen ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan nilai ekspor produk CPO Indonesia yang juga akan turut mengerek harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengaku senang akan hal ini dan berterima kasih.

“Terima kasih atas dukungan Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang atas komitmen impor minyak sawit dari Indonesia. Kami berharap Tiongkok dapat terus melanjutkan dan meningkatkan perdagangan minyak sawit dari Indonesia,” ucap Menko Luhut dalam keterangan resmi.

Menko Luhut menambahkan, kelapa sawit merupakan tanaman minyak yang paling produktif, dan juga menjadi komoditas penting bagi perdagangan dunia.

Karena itu, Indonesia berkomitmen untuk berperan sebagai supplier utama untuk bahan pangan penting ini.

“Dengan menjadi supplier utama CPO dunia, tentu akan membantu meningkatkan perekonomian Indonesia, serta meningkatkan kesejahteraan para petani kelapa sawit di Indonesia yang jumlahnya mencapai 16 juta,” lanjutnya.

 

Kerjasama Lainnya dengan China

Selain membahas mengenai perdagangan CPO, pertemuan delegasi kedua negara juga membahas kerja sama di berbagai bidang seperti investasi, infrastruktur, keuangan, pendanaan, serta kemaritiman.

Pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara juga menjadi salah satu bahasan dalam pertemuan tersebut.

Turut dibahas dalam pertemuan tersebut adalah topik mengenai penyelesaian kereta cepat yang menjadi komitmen bersama antara Indonesia dengan Tiongkok.

Kedua negara pun menyampaikan komitmen untuk menyelesaikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung sesuai jadwal dan akan diuji coba pada akhir tahun 2022.

“Presiden Jokowi menyampaikan, nilai perdagangan antara Indonesia dan RRT terus meningkat dan sudah melampaui USD 100 miliar. Sehingga peluang untuk meningkatkan angka perdagangan sangat besar. Karena itu kami sebagai pembantu Presiden akan terus mencari potensi sumber ekonomi lain yang bisa meningkatkan perekonomian Indonesia,” pungkas Menko Luhut.

 

infografis journal
infografis 10 Daerah Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia pada 2021. (Liputan6.com/Tri Yasni).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya