Liputan6.com, Jakarta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengakui sistem penyaluran BBM Subsidi masih dilakukan secara terbuka. Dengan demikain, mobil-mobil mewah masih bisa menikmati BBM bersubsidi dengan harga yang lebih murah dibanding nonsubsidi.
Namun demikian, alih-alih mengganti dengan sistem tertutup, pemerintah memilih untuk mempersempit konsumen BBM subsidi tersebut.
Baca Juga
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan, itu dilakukan dengan harapan penyaluran BBM Subsidi tepat sasaran. Caranya dengan melakukan pendataan yang saat ini tengah dilakukan.
Advertisement
Untuk diketahui, pendataan yang dimaksud mengarah pada pendaftaran melalui situs MyPertamina. Sejauh ini, setidaknya ada 1 juta orang yang telah mendaftar.
"Subsidi masih terbuka, masih di harga, jadi belum menyasar orang-orang yang berhak atas subsidi tersebut. Ini memang yang jadi bahan pemikiran kita juga di Kementerian ESDM, di BPH, di Kemenkeu, saya kira juga ya gimana cara kita agar subsidi ini tepat sasaran kita coba persempit komosumennya," kata dia dalam Diskusi bertajuk 'Subsidi Energi BBM untuk Siapa?', Rabu (31/8/2022) malam.
Pendataan ini menurutnya jadi satu poin penting untuk menjadikan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran. Meski, implementasinya kedepan masih menunggu aturan yang jelas.
Mengacu beberapa upaya pembatasan kebelakang, Saleh mengatakan kalau sistem MyPertamina saat ini dinilai sudah paling siap. Artinya, telah memiliki kemampuan sebagai platform penopang pembatasan penyaluran BBM Subsidi.
"Saya pikir MyPertamina lebih siap dan komprehensif dan bisa meminimalisir ketidaktepatan subsidi yang diberikan kepada masyarakat kita," terangnya.
Kendati begitu, ia mengakui sistem pendaftaran MyPertamina masih belum maksimal, baru sekitar 1 juta orang yang mendaftar. Satu hal yang menurutnya bisa mendorong jumlah ini adalah terbitnya revisi Peraturan Presiden Nomor 191/2014.
"Saya kira memang misalnya Perpres keluar, disitu clear apa yang disitu nanti promosi atau pendaftaran tentu akan dilakukan lebih masif," ujarnya.
Â
Catatan Ombudsman
Pada kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman RI Hery Susanto melihat kalau MyPertamina sebagai satu terobosan dalam digitalisasi. Namun, pelaksanaan di lapangan masih belum tepat sasaran.
Hal ini didapatkan dari proses asesmen yang dilakukan oleh Ombudsman. Di sisi lain, pelaksaaan MyPertamina ini masih terbatas di sebagaian kecil SPBU di daerah-daerah besar.
"Dalam catatan kami sebarannya hanya di memang sudah 10 provinsi, dan belum semua kabupaten kota, dan jauh dari basis perekonomian rakyat di level bawah. Paling banyak ditemukan pendaftaran MyPertamina itu sopir sama ojek dan lain-lain, nelayan kecil sekali, petani gimana akses mereka suapya bisa masuk MyPertamina, ini belum terserap dalam aplikasi tersebut," paparnya.
Masalah yang ditemukan ternyata adanya keterbatasan pengetahuan dari kelompok kecil tersebut untuk mendaftar melalui MyPertamina. Ini jadi satu alasan kalau sosialisasi harus dilakukan lebih masif lagi.
"Artinya disini aplikasi harus melindung (sesuai dengan) persyarakat dalam undang-undang pelayanan publik, pelayanan informasi, dan konsultasi ini belum masif dilakukan," tegasnya.
"Sehingga pemenitah terlalu menggemborkan upaya lewat MyPertamina di seluruh lapisan masyarakat, harus dievaluasi dan diperbaiki untuk serapan pembatasan," tambah dia.
Advertisement
Meski Harga BBM Naik, Masyarakat Masih Ogah Beralih ke Angkutan Umum
Masyarakat Indonesia tengah ketar ketir terhadap rencana kenaikan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak yang hampir dipastikan akan diumumkan pemerintah. Kenaikan harga BBM, dipastikan menambah biaya pengeluaran.
Pakar kebijakan transportasi, Djoko Setijowarno skeptis jika momentum harga BBM naik akan mengubah kebiasaan masyarakat beralih ke transportasi publik.
"Tergantung pemerintah, berpikirkah ke sana?" ujar Djoko kepada merdeka.com, Rabu (31/8).
Alih-alih kenaikan harga BBM dijadikan sebagai momentum reformasi untuk transportasi publik, Djoko menyampaikan bahwa DPR bahkan berencana mengurangi subsidi transportasi publik sebesar 60 persen.
Jika demikian, Djoko meyakini polemik transportasi tak akan kunjung tuntas.
Dia pun mengkritisi jumlah kendaraan sepeda motor semakin meningkat tajam. Sebab menurutnya, realita tersebut cerminan ketiadaan upaya pemerintah dalam perbaikan transportasi publik, sehingga masyarakat tidak melulu bergejolak akibat kenaikan harga BBM.
"Transportasi umum semakin berkurang, kendaraan pribadi terutama sepeda motor melesat populasinya, saatnya membenahi angkutan penumpang berbadan hukum dan angkutan barang," pungkasnya.
Respons Masyarakat
Sementara itu, Nur Rahmah (37) mengakali pengeluaran atas rencana kenaikan harga BBM dengan menukar mobil. Nur sebagai pemilik toko barang kebutuhan rumah tangga dan grosir, menukar mobil berbahan bakar BBM jenis pertamax menjadi mobil berbahan bakar solar.
Mobil merupakan alat transportasi penting sebagai penunjang keberlangsungan bisnisnya. Dalam sehari, Nur menyampaikan harus menyetir ke beberapa rumah pelanggan untuk mengantarkan barang pesanan.
Pengeluaran Nur saat menggunakan pertamax yaitu Rp700.000 untuk 1 minggu. Saat menggunakan solar, pengeluarannya dapat ditekan menjadi Rp500.000.
"Hampir tidak mungkin saya tidak menggunakan mobil," kata Nur.
Ibu dari enam anak ini enggan memanfaatkan jasa ekspedisi untuk mengirimkan barang dagangannya. Alasan utamanya untuk menyenangkan konsumen, menghindari kerusakan barang, dan tak ingin memperkecil keuntungan karena terpotong biaya ongkos kirim.
Advertisement