Liputan6.com, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak dengan keras pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal dengan dalin ancaman resesi. Sebaliknya, buruh meminta pemerintah gerak cepat untuk mengantisipasi ancaman tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh Presiden KSPI Said Iqbal daam konferensi pers daring, Senin (17/10/2022). Menurutnya, ancaman resesi tak bisa dijadikan dalih untuk memutuskan tak adanya kenaikan upah minimum dan PHK massal.
Baca Juga
"Kami menolak strategi pengusaha, sudahlah menebar ancaman kenaika upah jangan ada dengan alasan resesi, dan sekarang menebar ancaman PHK," ujarnya dalam konferensi pers.
Advertisement
Dia juga meminta pemerintah untuk bisa melakukan langkah antisipasi resesi tersebut. Itu disebut jadi tugas pemerintah untuk membuat warganya merasa aman.
"Mendesak pemerintah dalam hal ini para menteri untuk tidak menjadi provokator dan menakut-nakuti rakyat terkait resesi ekonomi," kata Iqbal.
"Rakyat sudah susah. Merea sudah mengurangi jajan anak. Mengurangi biaya makanan. Sementara di meja makan para menteri tidak ada yang berkurang. Tetapi rakyat disuruh bersiap. Terus kakau begitu kerjamu apa?," tambahnya.
Di sisi lain, pihaknya juga mengecam keras gaya hidup pejabat yang tidak menunjukkan empati. Seperti dicontohkannya, pejabat yang baru pulang dari luar negeri seperti dari Amerika Serikat dan Eropa.
"Bukannya membawa investasi, tetapi mengatakan dunia sedang dalam resesi," kata dia.
Minta Perkuat 3 Hal
Lebih lanjut, mengenai resesi, Said Iqbal meminta pemerintah tak perlu terlalu khawatir. Meski, ada 3 hal yang perlu dipenuhi terlebih dahulu sebagai langkah antisipasi.
Pertama, ketahanan pangan, menurutnya Indonesia adalah negeri gemah ripah loh jinawi. Oleh karena itu, ketahanan pangan di Indonesia sangat potensial untuk ditingkatkan.
Kedua, ketahanan energi, dari sisi kebutuhan gas, bisa dioptimalkan untuk digunakan di dalam negeri. Alih-alih menjual potensi produksi gas bumi tanah air yang dijual ke luar negeri.
"Ketiga, pengendalian kurs mata uang. Kalau rupiah jatuh, sementara kita harus membeli bahan baku dalam bentuk dollar dan menjual dengan rupiah, makan kondisi ekonomi akan semakin berdarah-darah," ujarnya.
"Jika tuntutan tidak didengar, buruh akan turun ke jalan besar-besaran pada tanggal 10 November di Istana dan serempak di berbagai provinsi. Jika aksi ini pun tidak didengar, inflansi tidak terkendali, upah tidak naik, omnibus lah dipaksakan, ancaman PHK besar-besaran di depan mata, buruh akan melakukan mogok nasional pertengahan Desember," bebernya.
Advertisement
Buruh Ngotot Minta Upah Minimum Naik 13 Persen di 2023
Kelompok buruh tetap bersikukuh menuntut kenaikan upah minimum sebesar 13 persen di 2023 mendatang. Salah satu pertimbangannya adalah kenaikan harga BBM Subsidi yang mengerek harga bahan pokok lainnya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menerangkan pertimbangan lainnya adalah besaran inflasi dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dimana, buruh jadi salah satu yang paling terdampak.
Menurut dia, setidaknya ada tiga item kebutuhan yang kenaikannya sangat memukul buruh. Pertama, makanan dan minuman, kedua transportasi, dan ketiga adalah perumahan atau sewa kontrakan.
"Kami menolak bila kenaikan upah minimum menggunakan PP 36," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (17/10/2022).
Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Adapun yang menjadi dasar tuntutan kenaikan upah 13 persen adalah nilai inflansi dan pertumbuhan ekonomi, dengan inflansi diperkirakan 6,5 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 4,9 persen.
"Maka jika ditotal didapat angka 11,4. Ditambah nilai produktivitas, maka sangat wajar jika kenaikan tahun 2023 adalah 13 persen," bebernya.
Dalam hal ini, Said Iqbal meminta pemerintah dan pengusaha tidak bermain-main dengan diksi pandemi dan resesi global. Dia khawatir dengan begitu kenaikan upah hanya berkisar 1-2 persen.
"Ancaman resesi belum begitu mengancam Indonesia. Ukurannya sederhana. Pertumbuhan ekonomi masif positif," tegas Said Iqbal.
Advertisement