Kebijakan Ketat Covid-19 dan Ancaman Resesi Bikin Ekspor China Melempem

Ekspor China pada Oktober 2022 menyusut 0,3 persen, didorong oleh kebijakan ketat Covid-19 dan kekhawatiran resesi global yang menyusutkan permintaan.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 08 Nov 2022, 13:10 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2022, 13:10 WIB
Kasus COVID-19 Meroket, China Lockdown Shanghai
Kapal berlayar di sepanjang Sungai Huangpu di distrik Pudong yang dikunci sebagai tindakan pencegahan Covid-19, di Shanghai (28/3/2022). Bagian timur kota yang terdiri dari sekitar 11 juta penduduk di lockdown selama empat hari. (AFP/Hector Retamal)

Liputan6.com, Jakarta - Ekspor dan impor China secara tak terduga berkontraksi pada Oktober 2022, menandai kemerosotan simultan pertama sejak Mei 2020. Penurunan ini didorong oleh kebijakan ketat Covid-19 dalam negeri, dan kekhawatiran resesi global yang menyusutkan permintaan.

Dilansir dari Channel News Asia, Selasa (8/11/2022) pengiriman ekspor China pada Oktober 2022 menyusut 0,3 persen dari tahun sebelumnya, perubahan tajam dari kenaikan 5,7 persen pada September 2022, menurut data resmi.

Angka tersebut pun jauh di bawah ekspektasi analis untuk kenaikan 4,3 persen, serta menjadi kinerja terburuk ekspor China sejak Mei 2020.

Selain itu, permintaan ke China juga masih lemah secara keseluruhan, dan analis memperingatkan awan gelap lebih lanjut bagi eksportir selama kuartal mendatang, menumpuk lebih banyak tekanan pada sektor manufaktur negara itu dan ekonomi terbesar kedua di dunia.

"Pertumbuhan ekspor yang lemah kemungkinan mencerminkan permintaan eksternal yang buruk serta gangguan pasokan karena wabah Covid-19," kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, mengutip gangguan Covid-19 di pabrik Foxconn, pemasok utama Apple, di Zhengzhou sebagai salah satu contoh.

Dalam pernyataan terpisah, Apple telah mengatakan bahwa pihaknya memperkirakan pengiriman smartphone iPhone 14 yang rendah dari yang diantisipasi menyusul pengurangan produksi di pabriknya do Zhengzhou yang terkena wabah kecil Covid-19.

Adapun perlambatan tajam pada volume pertumbuhan ekspor mobil China yang hanya mencapai 60 persen year-on-year dari 106 persen yang tercatat pada September 2022, menurut perhitungan data bea cukai negara itu.

"Ke depan, kami pikir ekspor akan turun lebih jauh selama kuartal mendatang. Pergeseran pola konsumsi global yang mendorong permintaan barang-barang konsumen selama pandemi mungkin akan terus berkurang," beber Zichun Huang, ekonom di Capital Economics.

"Kami berpikir bahwa pengetatan keuangan yang agresif dan hambatan pendapatan riil dari tingginya inflasi bakal mendorong ekonomi global ke dalam resesi tahun depan," ungkapnya.

Ada Wabah Baru Covid-19, Aktivitas Pabrik di China Menurun Oktober 2022

Akibat Lockdown, Pekerja Tinggalkan Zona Industri Kota Zhengzhou di China
Komuter yang mengenakan masker berjalan di sepanjang jalan di Beijing, Rabu (2/11/2022). Para pekerja iPhone Apple Inc meninggalkan pabrik karena lokasinya berada dalam zona industri Kota Zhengzhou yang sedang diberlakukan lockdown setelah adanya 64 laporan kasus virus corona di kawasan tersebut. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Aktivitas pabrik di China kembali menurun pada Oktober 2022 karena kemunculan wabah baru Covid-19. Penurunan itu diungkapkan oleh Biro Statistik Nasional China pada Senin (31/10).

Dilansir dari CNBC International, data menunjukkan indeks manajer pembelian resmi untuk manufaktur China turun menjadi 49,2 bulan ini, turun dari 50,1 yang tercatat pada September 2022.

Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi dalam aktivitas bisnis, sedangkan angka 50 di atas mencerminkan ekspansi.

Indeks manajer pembelian resmi untuk manufaktur China telah berada di bawah 50 selama enam dari 10 bulan tahun ini sejauh ini.

Sub-indikator pekerjaan pabrik, produksi, pesanan baru dan waktu pengiriman pemasok juga menunjukkan kontraksi pada bulan Oktober dibandingkan dengan September.

"Penurunan PMI manufaktur didorong terutama oleh penurunan sub-indeks pesanan baru (menjadi 48,1 pada Oktober dari 49,8 pada September), menunjukkan permintaan lanjutan yang lebih lemah," kata Kepala Ekonom China di Nomura, Ting Lu dalam sebuah catatan.

Seperti diketahui, wabah baru Covid-19 yang tersebar di berbagai wilayah di China telah mendorong kebijakan yang lebih ketat pada aktivitas bisnis.

Salah satu perusahaan yang paling terkenal adalah pemasok raksasa gadget Apple, yakni Foxconn, yang mengatakan pekan lalu bahwa pabriknya di kota Zhengzhou menghadapi kasus penularan Covid-19.

Namun, sebuah laporan dari majalah China, Caijing yang mengutip dua karyawan Foxconn, menyebutkan bahwa beberapa pekerja merobohkan penghalang isolasi asrama dan meninggalkan pabrik akhir pekan ini.

Laporan itu mengutip seorang karyawan di pabrik Foxconn, mengatakan bahwa operasi pabrik masih berjalan normal sementara kebijakan pengendalian Covid-19 telah berubah dengan penerapan yang bervariasi selama beberapa hari terakhir.

Namun, pihak Foxconn belum memberikan komentar terkait laporan tersebut.

Sementara itu, dalam sebuah pemberitahuan online, otoritas kota Zhengzhou mengumumkan rencana untuk membantu pekerja yang ingin meninggalkan pabrik untuk kembali ke kampung halaman mereka.

Barclays Pangkas Ramalan Ekonomi China 2023 Jadi Cuma 3,8 Persen

Akibat Lockdown, Pekerja Tinggalkan Zona Industri Kota Zhengzhou di China
Seorang pekerja dengan pakaian pelindung menunggu untuk memberikan tes COVID-19 di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (2/11/2022). Para pekerja iPhone Apple Inc meninggalkan pabrik karena lokasinya berada dalam zona industri Kota Zhengzhou yang sedang diberlakukan lockdown setelah adanya 64 laporan kasus virus corona di kawasan tersebut. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Lembaga keuangan multinasional asal Inggris, Barclays memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi China tahun depan menjadi 3,8 persen, sebagian didasarkan pada ekspektasi penurunan permintaan global untuk barang-barang dari negara itu. 

Dikutip dari CNBC International, Barclays kini memproyeksi pertumbuhan PDB China 3,8 persen di 2023, turun dari perkiraan sebelumnya 4,5 persen pada bulan September karena merosotnya investasi properti.

Pemotongan PDB terbaru para analis Barclays mencakup penurunan tajam investasi real estat, dari 8 persen menjadi 10 persen.

Ekonom Barclays di AS dan Eropa juga memproyeksi resesi tahun depan. Sehingga, bank tersebut sekarang memperkirakan ekspor China bakal turun 2 sampai 5 persen pada 2023, dibandingkan ekspektasi sebelumnya untuk pertumbuhan 1 persen.

"Pangsa China dari ekspor global telah menyusut tahun ini," kata para analis Barclays.

"Perusahaan asing terlihat telah mengalihkan pesanan mereka dari China ke tetangganya di Asia, termasuk Vietnam, Malaysia, Bangladesh dan India, juga untuk produksi beberapa barang padat," ungkap bank itu.

Ekspor China melonjak 29,8 persen tahun lalu dalam dolar AS, menyusul kenaikan 3,6 persen pada 2020. Namun, laju pertumbuhan melambat tahun ini.

Per September 2022, pertumbuhan ekspor year-to-date China hanya mencapai 12,5 persen.

Seperti diketahui, ekspor merupakan pendorong penting bagi ekonomi China, terutama ketika pandemi mengganggu rantai pasokan global dan menghasilkan permintaan yang kuat untuk produk kesehatan dan elektronik.

Selain ekspor, sektor real estat China dan industri terkait juga menyumbang sekitar seperempat dari PDB China.

China telah melihat kemerosotan pada pasar propertinya dalam dua tahun terakhir, karena Beijing menindak ketergantungan pengembang yang tinggi pada utang untuk pertumbuhan, sementara permintaan konsumen untuk membeli rumah menurun.

Infografis Indonesia Kemungkinan Lepas Status Pandemi Covid-19 Awal 2023. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Indonesia Kemungkinan Lepas Status Pandemi Covid-19 Awal 2023. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya