Aturan Covid-19 Melonggar Bisa jadi Peluang dan Risiko Sekaligus bagi China

ADB melihat pelonggaran pembatasan Covid-19 di China dapat membawa peluang serta risiko bagi ekonomi negara itu.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 16 Des 2022, 16:40 WIB
Diterbitkan 16 Des 2022, 16:40 WIB
Seminggu Setelah China Longgarkan Tindakan Pengendalian COVID-19
Seorang pria yang sedang melakukan disinfeksi melewati mal sepi di Beijing, China, Kamis (15/12/2022). Seminggu setelah China melonggarkan beberapa tindakan pengendalian COVID-19 yang paling ketat di dunia, ketidakpastian masih ada mengenai arah pandemi di negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia tersebut. (AP Photo/Ng Han Guan)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom di Asian Development Bank (ADB), Albert Park mengatakan dia melihat pelonggaran pembatasan ketat Covid-19 di China dapat membawa peluang serta risiko bagi ekonominya. 

Meskipun pencabutan pembatasan Covid-19 di China akan meningkatkan prospek pertumbuhan negara itu dan ekonomi lainnya, menurut Albert Park, hal itu juga dapat menyebabkan peningkatan kasus Covid-19.

"Satu area di mana mungkin ada risiko terbalik adalah pembukaan kembali China. Dan tentu saja, ada risiko turun dan naik untuk kasus China karena saat dibuka kembali, kita tahu kasus dapat menyebar dengan sangat cepat," kata Park, dikutip dari CNBC International, Jumat (16/12/2022).

"Dan akan ada godaan kuat dari pemerintah untuk menerapkan kembali pembatasan atau mundur. Hal itu bisa sangat mengganggu aktivitas ekonomi," bebernya.

Namun Park mengakui, memang ada risiko yang harus ditanggu China jika negara itu hendak melonggarkan pembatasannya dan bertransisi kembali ke aktivitas normal tanpa kebijakan nol-Covid-19.

"Semakin cepat China bisa sampai di sana (pembukaan)... semakin cepat mereka bisa mendapatkan pemulihan permintaan yang nyata dan benar-benar mendorong prospek pertumbuhanm juga ekonomi lain di kawasan itu," pungkas Park.

Pekan ini, ADB menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi China 2022 menjadi 3 persen dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,3 persen.

Untuk tahun 2023, ekonomi China diperkirakan tumbuh 4,3 persen. Angka ini juga menandai penurunan dari proyeksi ADB sebelumnya pada September 2022 sebesar 4,5 persen.

Selain China, ADB juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia dan Pasifik menjadi 4,2 persen dari perkiraan per September sebesar 4,3 persen, dan memangkas prospek 2023 untuk kawasan ini menjadi 4,6 persen dari 4,9 persen.

Lockdown yang terus berulang di China menjadi salah satu dari tiga hambatan besar yang memperlambat pemulihan kawasan itu dari pandemi, menurut ADB.

Hambatan lainnya adalah pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral di seluruh dunia dan perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan.

Bank Dunia: Ekonomi China Melemah, Indonesia Tetap Kuat

Seminggu Setelah China Longgarkan Tindakan Pengendalian COVID-19
Seorang kurir berjalan melewati toko-toko yang tutup di sebuah mal di Beijing, China, Kamis (15/12/2022). Seminggu setelah China melonggarkan beberapa tindakan pengendalian COVID-19 yang paling ketat di dunia, ketidakpastian masih ada mengenai arah pandemi di negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia tersebut. (AP Photo/Ng Han Guan)

Bank Dunia melihat pelemahan ekonomi di China akibat kebijakan ketat Covid-19 tidak berdampak signifikan pada perekonomian kawasan Asia, termasuk Indonesia.

Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Habib Rab dalam Media Briefing Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi December 2022, di Jakarta pada Kamis (15/12/2022).

Habib Rab menjelaskan, dilonggarkannya kebijakan Covid-19 di Indonesia dan negara-negara Asia mendorong kembali peningkatan permintaan dalam negeri.

"Tahun ini China memang melambat cukup signifikan, namun dampaknya untuk kawasan ternyata tidak terlihat signifikan," ujar Habib Rab.

"Salah satu alasannya karena banyak negara di Asia tahun ini, termasuk Indonesia mau membuka diri dari lockdown yang telah berlangsung dua tahun terakhir," sambungnya.

Dia menyebut, pemulihan ekonomi di Indonesia, Vietnam dan Filipina tahun ini didorong oleh permintaan domestik dalam negeri, konsumsi domestik, sehingga permintaan meningkat.

Meski wabah baru Covid-19 telah membebani ekonomi China, Bank Dunia optimis bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu bisa pulih tahun depan.

Pemulihan yang tengah dinanti-nanti ini pun diharapkan dapat memberikan dampak baik bagi Indonesia.

"China di masa depan mungkin pulih tahun depan, jadi permintaan sumber daya alam yang terkontraksi tahun ini karena kebijakan nol Covid-19 mereka kami perkirakan akan mulai rebound kembali dan bisa mendorong dampak positif bagi Indonesia," kata Habib Rab.

Batasan Covid-19 Melonggar, IMF Ramal Lagi Ekonomi China Melambat di 2023

Seminggu Setelah China Longgarkan Tindakan Pengendalian COVID-19
Warga mengobrol di luar klinik di Beijing, China, Kamis (15/12/2022). Seminggu setelah China melonggarkan beberapa tindakan pengendalian COVID-19 yang paling ketat di dunia, ketidakpastian masih ada mengenai arah pandemi di negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia tersebut. (AP Photo/Ng Han Guan)

Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memperkirakan ada kemungkinan China mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah untuk tahun ini dan berikutnya. Hal itu dikarenakan pelonggaran Covid-19 diperkirakan akan mendorong lonjakan infeksi sehingga masih menyulitkan pemulihan.

Dikutip dari Channel News Asia, Rabu (14/12/2022) sementara kebijakan nol Covid-19 di China telah mengguncang ekonominya, Georgieva menyebut, pelonggaran pembatasan juga akan menimbulkan beberapa kesulitan selama beberapa bulan ke depan.

"Tetapi kemungkinan karena China mengatasi ini pada paruh kedua tahun ini, mungkin ada beberapa perbaikan dalam prospek pertumbuhan," kata Georgieva.

Pernyataan Georgieva tersebut disampaikan di sela-sela panel tentang dana baru IMF ketika China bergulat dengan melonjaknya kasus virus corona, karena melonggarkan kebijakan Covid-19 setelah hampir tiga tahun.

IMF telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 3,2 persen tahun ini, yang merupakan angka terendah dalam beberapa dekade.

Namun IMF juga masih melihat pertumbuhan ekonomi China akan menyentuh 4,4 persen tahun depan. "Sangat mungkin, kami akan menurunkan proyeksi pertumbuhan kami untuk China, baik untuk tahun 2022 maupun 2023", ungkap Georgieva.

Dia menyarakan, negara itu perlu menyesuaikan kebijakan Covid-19nya, salah satunya menggenjot vaksinasi, terutama untuk populasi lanjut usia. Ada juga kebutuhan untuk menggunakan lebih banyak pengobatan antivirus.

"Dengan kata lain, memperlengkap kembali sistem kesehatan untuk merawat pasien daripada mengisolasi, yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir," pungkas Georgieva.

Dengan 2023 yang ditetapkan sebagai tahun yang sangat sulit, Georgieva menegaskan kembali bahwa kemungkinan penurunan lebih lanjut dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi global akan "tinggi".

Selain tantangan di China, ekonomi AS dan Uni Eropa juga diperkirakan akan melambat secara bersamaan, dengan proyeksi setengah dari Eropa akan mengalami resesi tahun depan, sebutnya. 

Ekonomi China Melemah, tapi Ekspor RI Jalan Terus

FOTO: Neraca Perdagangan Januari 2022 Surplus USD 930 Juta
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (17/2/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2022 kembali mengalami surplus sebesar USD 930 juta. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, melihat perlambatan ekonomi China tidak akan berpengaruh besar terhadap pasokan ekspor RI ke Tiongkok, yang dinilainya sudah terlampau bergantung pada Indonesia untuk komoditas bahan baku.

"Sebenarnya sih enggak begitu. memang sekarang kan ekspor kita tertinggi ke China, impor juga juga paling tinggi di China. Tapi kan kalau kita lihat komoditas, itu kan mereka banyak yang bahan baku berasal dari Indonesia," ujar Iskandar di Jakarta, Selasa (6/12/2022).

Menurut dia, relasi antara pelemahan ekonomi China dan ketergantungannya atas komoditas ekspor RI tidak bisa dilihat secara one on one. Pasalnya, Negeri Tirai Bambu saat ini punya pangsa ekspor tertinggi dengan share 25,7 persen, juga impor sebesar 29,5 persen.

"Tapi kita enggak bisa melihat kalau pertumbuhan ekonomi China melamban otomatis Indonesia ekonominya lamban one on one. Karena mereka membutuhkan bahan baku yang berasal dari Indonesia," imbuhnya.

Iskandar mencontohkan, Indonesia dikenal sebagai negara penghasil komoditas mineral semisal nikel, bauksit hingga cobalt untuk perangkat kendaraan listrik. Di sisi lain, demand atas komponen penunjang electronik vehicle itu pun masih besar.

"Maka walau terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi itu enggak langsung besar turunnya. Tadi saya bilang kan 25 persen ekspor ke China. Berarti kalau terjadi perlambatan, kalau kita membaca one on one seolah-olah kan berarti kalau setiap 1 persen, 0,25 persen penurunan," paparnya.

"Tapi enggak gitu, karena mereka butuh bahan baku. Memang akan terjadi penurunan, tetapi penurunannya relatif kecil karena China ketergantungannya bahan baku ke Indonesia sangat besar. Jadi walau pertumbuhan ekonominya melambat, tapi untuk sektor-sektor tertentu kebutuhannya sangat besar dia," ungkapnya.

Infografis Harapan & Langkah Nyata G20 Jadi Katalis Pemulihan Ekonomi
Infografis Harapan & Langkah Nyata G20 Jadi Katalis Pemulihan Ekonomi (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya