Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) akan merevisi Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja atau PP mengenai pekerja outsourcing.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menjelaskan bahwa revisi PP 35 tersebut sebagai konsekuensi diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja.
Sebab, dalam UU Cipta Kerja tidak mengatur pembatasan Jenis Pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Hal ini dimaknai bahwa pelaksanaan alih daya dapat dilakukan/terbuka untuk semua jenis pekerjaan dalam suatu proses produksi.
Advertisement
Sementara, dalam Perppu ini mengatur pembatasan jenis pekerjaan. Perppu Cipta Kerja mengatur alih daya dibatasi hanya dapat dilakukan untuk sebagian pelaksanaan pekerjaan, yang mana hal ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh Pemerintah dalam PP.
"Konsekuensinya PP 35 tahun 2021 turunan cipta kerja yang membahas outsourcing itu akan kami rubah, jadi kami dalam proses merevisi PP 35 tersebut," kata Indah dalam konferensi pers Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, Jumat (6/1/2023).
Oleh karena itu, Kemnaker saat ini dalam tahap merevisi PP 35 yang merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Pasalnya, dalam UU Cipta Kerja, pembahasan terkait pekerjaan outsourcing atau alih daya tidak dibahas sama sekali, sehingga efeknya banyak perusahaan yang melakukan outsourcing secara luas.
"Apa sih alasan perubahan outsourcing di Cipta Kerja tidak dibahas sama sekali sehingga efeknya menjadi luas outsourcing itu, kemudian di Perpu dibatasi," ujarnya.
Alasan yang Mendasari
Adapun alasan perubahan terkait pekerjaan alih daya dalam Perppu, pertama, untuk memberikan peluang atau kesempatan yang lebih luas bagi pekerja sebagai pekerja tetap/PKWTT guna melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap.
"Kalau terlalu dibuka seperti di Cipta Kerja maka pengusaha akan terus outsourcing saja, sementara dalam perppu ini kita mulai membatasi sehingga ada kepastian bagi para pekerja untuk mendapatkan pekerjaan yang sifatnya PKWTT," ujarnya.
Alasan kedua, yakni adanya pembatasan pelaksanaan pekerjaan tersebut, juga tidak mengurangi upaya perusahaan untuk tetap dapat mengembangkan usahanya.
Ketiga, untuk memberikan ketenangan dalam bekerja sehingga dapat meningkatkan produktivitas perusahaan, dan pada akhirnya akan tercapai kelangsungan bekerja dan kelangsungan usaha.
"Saya ingin mengunderline bahwa isu mengenai alih daya katanya akan dibuka seluas-luasnya, itu tidak juga, akan tetap kita atur dan dijelaskan dalam revisi PP 35, karena Perppu ini sudah mengatur pembatasan jenis pekerjaan," pungkasnya.
Advertisement
Pasal Outsourcing di Perppu Cipta Kerja Bikin Pengusaha dan Pekerja Bingung
Sebelumnya, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menyoroti kemunculan pasal soal tenaga alih daya (outsourcing) yang kembali dituliskan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).
Pasal outsourcing yang sebelumnya dihilangkan dalam UU Cipta Kerja malah ditampilkan lagi di aturan penggantinya. Menurut Timboel, buka hanya buruh yang kelabakan atas regulasi itu, tapi pengusaha juga.
"Memunculkan kembali Pasal 64 tentang alih daya (outsourcing) di Perppu Nomor 2/2022 yang sebelumnya dihapus di UU Cipta Kerja, tidak memberikan kepastian kerja bagi pekerja dan pengusaha," tegasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (5/1/2023).
Timboel menilai, kehadiran Pasal 64 ini tidak memuat kepastian penggunaan pekerja alih daya hanya untuk pekerjaan yang bersifat penunjang. Ketentuan itu padahal sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Adapun Pasal 64 Perppu Cipta Kerja mengamanatkan pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya tanpa pengecualian bidang. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"Diamanatkannya jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan di tingkat PP akan membuka ruang bebas kepada pemerintah mengatur dan merevisinya. Sehingga menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha," kata Timboel.
Seharusnya, ia menekankan, Perppu menyatakan secara tegas pekerjaan yang bisa dialihdayakan adalah pekerjaan yang bersifat penunjang, seperti yang dimuat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.
"Bila ketentuan ini dimuat di tingkat UU maka akan sulit untuk diubah, dan ini akan memberikan kepastian kepada pekerja dan pengusaha," pungkas Timboel.