Pengamat: Dalih Transisi Energi Lewat Power Wheeling Tak Masuk Akal

Skema power wheeling harus dikawal agar tak masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 01 Okt 2023, 11:26 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2023, 15:00 WIB
ESDM
PLTB ini bisa mengaliri listrik 360 ribu pelanggan 450 KV. Skema power wheeling harus dikawal agar tak masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).

Liputan6.com, Jakarta Munculnya skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik membuka ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional. Untuk itu, skema power wheeling harus dikawal agar tak masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Abra Talattov menyebut pasal hantu itu dapat dibaca sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusi dimana sektor ketenagalistrikan merupakan sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara.

"Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat," ujarnya, Kamis (26/1/2023).

Abra pun memaparkan tiga alasan mengapa publik perlu mencermati pasal-pasal siluman dalam RUU EBT tersebut (pasal 29 A, pasal 47 A, pasal 60 ayat 5).

Pertama, tidak ada urgensi sama sekali untuk menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.

Abra menjelaskan bahwa tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, Pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

Dalam RUPLT paling green itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.

"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," tegasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Kompensasi Listrik

FOTO: Tahun Depan, Tarif Listrik Non Subsidi Bakal Naik
Warga melakukan pengisian listrik di rumah susun kawasan Jakarta, Selasa (30/11/2021). Kementerian ESDM bersama Banggar DPR RI berencana menerapkan kembali tariff adjustment (tarif penyesuaian) bagi 13 golongan pelanggan listrik PT PLN (Persero) non subsidi tahun 2022. (Liputan6 com/Angga Yuniar)

Kedua, pengusulan skema power wheeling kurang relevan, mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak.

Abra mengatakan, saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan kita sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik. Hingga akhir Tahun 2022 lalu saja oversupply menyentuh sekitar 7 GW.

"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," katanya.

Ketiga, implikasi kerusakannya terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, lanjut Abra, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW.

"Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 144-168 triliun," pungkasnya. 


Jangan Panik, Perdagangan Karbon Tak Bikin Tarif Listrik Naik

Ilustrasi tarif Listrik Naik
Ilustrasi tarif Listrik Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Pemerintah resmi memulai mekanisme perdagangan karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara, dan akan terus dikembangkan untuk sektor ketenagalistrikan lainnya guna menekan pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK).

Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjamin, implementasi perdagangan karbon ini tidak sampai membuat tarif listrik untuk masyarakat naik.

Plt Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana berpendapat, kewajiban untuk memenuhi Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) tidak akan memberatkan perusahaan pembangkit listrik secara biaya.

"Kan ini angkanya berasal dari housekeeping, berasal dari peningkatan efisiensi yang tidak memerlukan biaya. Sehingga ini tidak mengakibatkan BPP (biaya pokok penyediaan) di pembangkit tersebut naik," terang Dadan di Jakarta, Selasa (24/1/2023).

Guna menghindari shock, ia mengatakan, pengenaan batas atas emisi di sektor ketenagalistrikan bakal dijalankan secara bertahap.

Untuk fase pertama, pemerintah target penurunan emisi 500 ribu ton CO2 dari penerapan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Itu berarti 1/500 dari target penurunan 250 juta ton CO2 dari sektor ketenagalistrikan.

Ke depan, Dadan menyatakan, angka itu bakal dinaikkan secara bertahap. Ia pun memastikan perusahaan pembangkit listrik tidak akan mengeluarkan ongkos besar untuk proses tersebut.

"Upaya tersebut tuh tanpa biaya juga. Kita kan sudah pernah melakukan audit ke pembangkit. Misalkan kontrol pembakarannya di-setting lagi. Itu tuh yang akan kita lakukan di 1-3 tahun pertama," tutur dia.


Perdagangan Karbon PLTU Resmi Dimulai, Target Emisi Turun 500 Ribu Ton

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memulai perdagangan karbon di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap, atau PLTU berbasis batu bara. Tujuannya, untuk menekan pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilaksanakan secara bertahap.

Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.

Lewat aturan tersebut, mekanisme perdagangan karbon tahap awal dimulai pada 2023-2024 untuk PLTU yang terhubung ke jaringan PLN. Targetnya, target penurunan emisi GRK sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 31,89 persen di 2030 bisa dimulai bertahap pada sektor kelistrikan, yakni 500 ribu ton.

"Tujuan utamanya adalah, memastikan bahwa terjadi penurunan emisi gas rumah kaca. Menurut saya outcome-nya harus ada nih, real penurunannya. Kita tidak ingin ini menjadi tukar menukar dokumen saja nanti, yang lebih membeli kepada yang kurang. Begitu ditotal ini balance-nya 0," kata Plt Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, Selasa (24/1/2023).

Kendati emisi diturunkan, Dadan ingin suplai dan harga listrik ke masyarakat tetap andal serta terjangkau. Oleh karenanya, penetapan angka Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) di fase awal ini tetap bersahabat.

"Tapi kita pun akan melihat bahwa di ujungnya kita akan mendapat penurunan (emisi gas rumah kaca). Dari perhitungan kami, angkanya 500 ribu ton untuk tahun ini. Memang kalau melihat ke angka 240-250 juta ton yang berasal dari sektor ketenagalistrikan, angkanya 1/500. Tidak besar," terangnya. 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya