Menkeu AS Janet Yellen Klaim Kemungkinan Resesi AS Rendah

Menteri Keuangan As Janet Yellen melihat kemungkinan resesi di Amerika cukup rendah tahun ini. Simak selengkapnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 07 Feb 2023, 19:00 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2023, 19:00 WIB
Menteri Keuangan AS Janet Yellen dalam sesi House Financial Services Committee. (AP)
Menteri Keuangan AS Janet Yellen dalam sesi House Financial Services Committee. (AP)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengatakan bahwa kemungkinan resesi di Amerika cukup rendah tahun ini. Menurutnya, hal itu dikarenakan pertumbuhan lapangan pekerjaan dan angka pengangguran yang rendah.

"Anda tidak mengalami resesi ketika Anda memiliki 500.000 lapangan pekerjaan dan tingkat pengangguran terendah dalam 50 tahun," ujar Yellen, dikutip dari CNN Business, Selasa (7/2/2023).

Laporan Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan, ekonomi AS telah menambah 517.000 pekerjaan pada Januari 2023. Tingkat pengangguran juga turun sepersepuluh poin persentase menjadi 3,4 persen — tingkat pengangguran terendah sejak Mei 1969.

Musim panas lalu, inflasi AS sempat mencapai level tertinggi dalam 40 tahun yang disertai dengan gangguan rantai pasokan, kekurangan pekerja, dan stimulus ekonomi hingga masalah geopolitik, termasuk perang Rusia-Ukraina yang mendorong lonjakan harga pangan dan BBM.

"Yang saya lihat adalah jalur di mana inflasi menurun secara signifikan, dan ekonomi tetap kuat," kata Yellen, saat tampil di ABC Good Morning America.

"Dan sungguh itu jalan yang saya yakini mungkin, dan itulah yang saya harap bisa kita capai," sambungnya.

Sementara itu, ketika ditanya apakah Kongres akan menyelesaikan isu batas utang, Yellen menegaskan bahwa hal itu tidak dapat dinegosiasikan.

"Amerika telah membayar … sebagian dari tagihan ini tepat waktu sejak 1789; dan jika tidak melakukannya - kita bisa memunculkan bencana ekonomi dan keuangan," jelas dia.

"Dan setiap anggota Kongres yang bertanggung jawab harus setuju untuk menaikkan plafon utang. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan," pungkasnya.


Jokowi: Resesi Masih Bisa Terjadi

Presiden Joko Widodo (Jokowi)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berterima kasih kepada umat Hindu yang beribadah tetap mematuhi protokol kesehatan saat sambutan Peringatan Dharma Santi Nasional Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1943, Sabtu (27/3/2021). (Biro Pers Sekretariat Presiden)

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan bahwa tekanan ekonomi global terhadap perekonomian nasional saat ini memang sudah mulai mereda.

Namun, dia melihat, resesi ekonomi masih bisa saja terjadi.

"Ya Tekanan global dari sisi ekonomi memang mereda, tapi bukan berarti resesi tidak terjadi. Bisa saja belum. Kuartal ke-4 memang sudah mereda. Tadi pagi kita baru dapet informasi itu," jelas Jokowi dalam acara Mandiri Investment di Jakarta, Rabu (1/2/2023).

Kendati begitu, dia meminta masyarakat untuk tidak pesimis dengan kondisi ekonomi nasional. Jokowi mengajak masyarakat tetap optimis dan berhati-hati.

"Tapi kita sendiri memang harus tetap optimis tapi tetap harus waspada," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menuturkan ekonomi nasional diperkirakan berada di angka 5,2 sampai 5,3 persen secara year on year. Selain itu, tingkat inflasi di Indonesia masih terkendali di angka 5,5 persen.

"Purchasing Managers Indeks juga berada di angka yang ekspansif 50,9. Lha kalau mellihat angka2 seperti ini kita tidak optimis, keliru," katanya.

"Tapi memang tetap harus hati2 dan waspada. Hati-hati dan waspada. Tetap," sambung Jokowi.

Dari sektor perbankan, dia menyampaikan kredit tumbuh 11,3 persen di tahun 2022. Kemudian, Jokowi menuturkan tingkat investasi di Indonesia mampu mencapai target yakni, Rp1.207 triliun pada 2022.


Negara Ekonomi Terbesar Eropa Terkontraksi, Sinyal Resesi di Depan Mata?

Kasus Covid-19 di Jerman
Orang-orang terlihat di luar Stasiun Kereta Pusat Berlin di Berlin, ibu kota Jerman, pada 6 Agustus 2020. Kasus COVID-19 di Jerman bertambah 1.045 dalam sehari sehingga total menjadi 213.067, seperti disampaikan Robert Koch Institute (RKI) pada Kamis (6/8). (Xinhua/Shan Yuqi)

Negara ekonomi terbesar di Eropa, Jerman secara tak terduga mengalami penyusutan ekonomi pada kuartal keempat 2022.  Jerman merupakan negara ekonomi terbesar di Eropa.

Kontraksi ini semakin menunjukkan kemungkinan bahwa negara itu sudah memasuki resesi seperti yang sebelumnya diprediksi, meskipun kemungkinan terburuk sudah mereda dibandingkan yang dikhawatirkan sebelumnya.

Mengutip US News, Selasa (31/1/2023) data resmi kantor statistik federal Jerman menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) negara itu turun 0,2 persen pada kuartal IV 2022.

Padahal, di kuartal sebelumnya, ekonomi Jerman sempat tumbuh sebesar 0,5 persen yang direvisi naik dibandingkan tiga bulan sebelumnya.

Sebagai informasim eesesi secara umum didefinisikan sebagai kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.

"Bulan-bulan musim dingin berubah menjadi sulit - meskipun tidak sesulit yang diperkirakan sebelumnya," kata kepala ekonom VP Bank, Thomas Gitzel.

"Kehancuran ekonomi Jerman yang parah tidak ada, tetapi sedikit resesi masih akan terjadi," sebutnya.

Pekan lalu, Menteri Perekonomian Jerman Robert Habeck mengatakan dalam laporan ekonomi tahunan pemerintah bahwa krisis ekonomi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina sekarang dapat ditangani, meskipun harga energi yang tinggi dan kenaikan suku bunga membuat pemerintah tetap berhati-hati.

Situasi ekonomi Jerman diprediksi akan membaik mulai musim semi dan seterusnya, dan perkiraan PDB Jerman untuk tahun 2023 ini juga direvisi menjadi 0,2 persen, naik dari perkiraan penurunan 0,4 persen.

Sementara itu, European Central Bank (EBC) atau bank sentral Eropa telah berkomitmen untuk menaikkan suku bunga utamanya setengah poin persentase pekan ini menjadi 2,5 persen untuk mengekang inflasi di kawasannya.


Sri Mulyani Bilang 2023 Tak Jadi Resesi, Gubernur BI Minta Tetap Waspada

Pecabutan PPKM untuk Genjot Ekonomi 2023
Pekerja kantoran melintas di pelican cross kawasan Jalan Thamrin, Jakarta, Kamis (5/1/2023). Pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dinilai untuk menggenjot ekonomi Indonesia 2023 yang diproyeksi suram akibat resesi global. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati membawa kabar baik soal ekononomi global. Menurutnya, ada harapan ekonomi dunia tidak akan masuk resesi melihat perkembangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan China. 

Namun, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo meminta seluruh pihak tetap mewaspadai perkembangan ekonomi global di 2023. Menyebutnya, ekonomi global masih belum bersahabat di tahun ini.

"Tahun 2023 kita harus waspada (ekonomi) global masih belum bersahabat, masih bergejolak," kata Perry dalam acara Laporan Transparansi dan Akuntabilitas Bank Indonesia (LTABI) 2022 di Jakarta, Senin (30/1/2023).

Adapun, gejolak ekonomi global tahun ini masih dipengaruhi oleh dampak pandemi Covid-19 dan konflik Rusia dan Ukraina yang tak kunjung usai. Kondisi ini menyebabkan kenaikan inflasi yang menghambat laju pemulihan ekonomi di berbagai negara.

Meski begitu, Perry optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia diprakirakan berlanjut meski sedikit melambat. Pada tahun 2023, petumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 4,5 sampai 5,3 persen secara year on year (yoy).

Proyeksi ini didasarkan pada kian membaiknya sektor konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi sejalan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pasca penghapusan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kebijakan Masyarakat (PPKM).

Selain konsumsi rumah tangga, faktor pendorong petumbuhan ekonomi nasional di tahun ini adalah terkendalinya laju inflasi. Bank Indonesia memproyeksikan inflasi di semester I 2023 bisa di bawah 4 persen.

"inflasi dari 5,5 persen kami pastikan inflasi inti dii semester satu (2023) di bawah 4 persen," tekan Perry.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya