Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu pemimpin dunia yang menghadiri KTT Negara G7 di Hiroshima, Jepang, pada 20 Mei 2023.
Dalam pidatonya di pertemuan tingkat tinggi tersebut, Jokowi menyampaikan berbagai seruan kepada para pemimpin negara G7, mulai dari isu konflik hingga perdamaian dunia.Â
Baca Juga
Selain itu, Jokowi juga membahas bahaya dari ancaman perubahan iklim.
Advertisement
Berikut adalah sederet poin yang disampaikan Jokowi kepada para pemimpin dunia dalam KTT G7, dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet, Senin (22/5/2023) :
Serukan revolusi untuk menghentikan perang
Dalam KTT G7 sesi kesembilan di Hotel Grand Prince, Hiroshima, Jepang, Jokowi menyerukan kepada para pemimpin negara untuk berani melakukan revolusi besar agar perang dapat dihentikan dan dihindari untuk menciptakan perdamaian dunia
"Sebagai pemimpin kita harus punya keberanian dan kemauan melakukan revolusi besar untuk bawa perubahan dan perbaikan agar perang dapat dihentikan," kata Jokowi pada Minggu (21/05).
Jokowi menyebut, semua pihak menginginkan dunia yang damai, stabil, dan sejahtera. Namun, keadaan yang ada pada saat ini tidak selaras dengan hal tersebut.
"Distrust makin tebal, rivalitas makin meruncing, perang dan konflik masih terjadi di mana-mana," jelasnya.
Belum ada perkembangan signifikan hentikan perang
Selain itu, dengan adanya berbagai macam krisis dunia yang mengkhawatirkan, menurut Jokowi, upaya bersama yang dilakukan untuk menyelesaikan perang belum menunjukan perkembangan yang signifikan.
Jokowi menegaskan bahwa perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran adalah tanggung jawab dan tujuan bersama. Oleh karena itu, Presiden mengajak para pemimpin dunia untuk melakukan perubahan.
"Mari bersama lakukan perubahan," tutupnya.
Dunia Butuh Aksi Nyata Cegah Perubahan Iklim
Dalam pidatonya pada Sesi Kerja Mitra G7 yang membahas soal iklim, energi, dan lingkungan, Presiden Jokowi juga mendorong semua negara turut berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.Â
"Pendekatan lama harus ditinggalkan, burden shifting, propaganda. Bumi ini butuh aksi nyata, bukan talk the talk yang tidak berujung konkret," ujar jokowi, dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet, Senin (22/5/2023).
Presiden menjelaskan, Indonesia sendiri telah meningkatkan target penurunan emisi sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.
"Sebuah komitmen yang harus diikuti dengan kemitraan yang memberdayakan," terangnya.
Â
Â
Advertisement
Dukungan Pendanaan Iklim bagi Negara Berkembang
Selain itu, Jokowi juga menegaskan bahwa dukungan pendanaan iklim bagi negara berkembang harus konstruktif dan jauh dari kebijakan diskriminatif yang mengatasnamakan lingkungan.
Dukungan pendanaan dalam bentuk seperti utang, menurutnya hanya akan menjadi beban.
"Saya harus sampaikan, jujur negara berkembang ragu terhadap komitmen pendanaan negara maju yang hingga kini komitmen USD100 miliar/tahun masih belum terpenuhi," sambungnya.
Jokowi lebih lanjut mendorong semua negara untuk meningkatkan aksi konkret menghadapi ancaman perubahan iklim. Presiden pun menyampaikan sejumlah aksi nyata yang telah dilakukan Indonesia dalam menghadapi ancaman tersebut.
"Indonesia telah lakukan banyak hal seperti laju deforestasi turun signifikan dan terendah selama 20 tahun terakhir, rehabilitasi 600.000 hektare hutan mangrove selesai di 2024, rehabilitasi 3 juta hektare lahan kritis, kebakaran hutan turun 88 persen, bangun 30.000 hektare kawasan industri hijau, dan dorong pengembangan ekosistem EV,"jelas Presiden.
Kerja Sama Berarti Ada Kesetaraan, Kolaborasi, dan Inklusivitas
Sebelumnya, dalam Sesi Kerja Mitra G7 pada Sabtu (20/5), Jokowi mendorong kesetaraan, kolaborasi, dan inklusivitas dalam kerja sama global.
"Working together means equality. Working together means inclusiveness, and we can only work together if we understand each other," ujar Presiden Jokowi.
"Namun yang jadi pertanyaan, apakah equality, inclusiveness, dan understanding sudah jadi spirit bersama yang kita kembangkan? Kita harus berani berkata jujur, banyak hal harus kita perbaiki," katanya.
Jokowi pun membahas bagaimana pandemi telah mengajarkan dunia tentang pentingnya melibatkan lebih banyak negara dalam rantai pasok global. Untuk itu, Presiden Jokowi menyerukan penghentian kebijakan monopoli.
"Kebijakan diskriminatif terhadap komoditas negara berkembang juga harus dihentikan. Right to development setiap negara harus dihormati," tegasnya.
Â
Â
Advertisement
Jokowi Singgung Hilirisasi Industri Bahan Mentah Indonesia yang Tidak Didukung di WTO
Dalam kesempatan itu, Jokowi tampak kembali menyoroti hilirisasi industri di Indonesia yang menuai kontra dari negara Barat, salah satunya gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.
Jokowi mengatakan, saat ini sudah bukan zamannya lagi negara-negara global south hanya diberi ruang sebagai pengekspor komoditas bahan mentah karena dunia sudah tidak berada pada masa kolonialisme.
"Apakah adil negara kaya SDA seperti Indonesia dihalangi menikmati nilai tambah SDA-nya? Dihalangi mengolah SDA-nya di dalam negeri?" tandasnya.
Jokowi : Indonesia tidak menutup diri
Presiden juga menegaskan bahwa lebih dari 270 juta penduduk Indonesia yang menjadi jangkar perdamaian, demokrasi, dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik harus sejahtera.
Karena itu, Indonesia tidak menutup diri, melainkan bekerja keras untuk meningkatkan kerja sama dalam bentuk lain yang lebih setara dan dengan hasil win-win bagi semua.
"Saya berharap negara G7 dapat jadi mitra dalam hilirisasi industri ini dan sudah saatnya membentuk semacam OPEC untuk produk lain seperti nikel dan sawit,"Â sebut Jokowi.
Di akhir pidatonya, Presiden Jokowi kembali menegaskan ajakan untuk kolaborasi dan menyoroti peran besar G7 dalam hal tersebut. Menurutnya, yang dunia butuhkan saat ini bukanlah polarisasi.
"Saya ingin tegaskan yang dunia butuhkan saat ini bukan polarisasi yang memecah belah, tapi justru kolaborasi yang mempersatukan dan negara G7 punya peran besar dalam ciptakan kolaborasi yang konkret dan setara," jelas Presiden.