Liputan6.com, Jakarta Lira Turki kembali merosot ke level terendah pada Selasa (30/5), memperpanjang penurunannya menyusul kemenangan Presiden petahana Recep Tayyip Erdogan.
Melansir CNBC International, Selasa (30/5/2023) Lira terakhir diperdagangkan pada 20,15 terhadap dolar AS atau USD sekitar pukul 5 pagi waktu setempat, melampaui posisi terendah pada Senin (29/5) di kisaran 19,5.
Di awal sesi, Lira sudah melemah ke level 20,2 terhadap dolar. Mata uang Turki itu telah kehilangan lebih dari 7 persen nilainya sejak awal tahun.
Advertisement
"Jika langkah besar melemahkan lira, dan potensi krisis ekonomi sistemik ingin dihindari, Erdogan perlu bergerak cepat dan menunjuk seseorang seperti Simsek sebagai tokoh ekonomi,"kata Senior EM Sovereign Strategist dari BlueBay Asset Management, Timothy Ash dalam sebuah pesan email.
Sebagai informasi, Mehmet Simsek adalah mantan menteri keuangan Turki yang dikenal karena kebijakannya yang ramah pasar. Dia kemudian menjadi wakil perdana menteri negara itu dari tahun 2015 hingga 2018.
"Pertanyaannya adalah apakah orang seperti itu akan memiliki kebebasan yang cukup untuk membuat perubahan kebijakan ekonomi yang diperlukan – seperti kenaikan suku bunga," ujar Ash.
Kebijakan Moneter Turki
Kebijakan moneter Turki menekankan pada pengejaran pertumbuhan dan persaingan ekspor daripada menjinakkan inflasi, dan Erdogan mendukung pandangan yang tidak konvensional bahwa menaikkan suku bunga meningkatkan inflasi.
"Ada ekspektasi luas bahwa (lira] akan melemah dalam beberapa bulan mendatang," kata Steven Englander dari Standard Chartered Bank.
Sementara itu, analis Goldman Sachs menyatakan dalam sebuah laporan penelitian, menyusul hasil pemilu putaran kedua, fokus pasar akan terus tertuju pada cadangan devisa bank sentral dan lira.
"Cadangan internasional terus turun sejak awal tahun dan mendekati level ketika sebelumnya volatilitas TRY (lira Turki) meningkat tajam," tulis analis di bank investasi itu.
Janji Manis Recep Tayyip Erdogan Usai Menang Pilpres Turki 2023, Perangi Inflasi dan Bereskan Dampak Gempa
Petahana Recep Tayyip Erdogan kembali memenangkan Pemilihan Presiden atau Pilpres Turki 2023. Dia mengalahkan pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu dalam pemilihan putaran kedua pada Minggu (28/5) waktu setempat.
Kemenangan Recep Tayyip Erdogan menandai perpanjangan jabatan kepresiden pria kelahiran 1954 ini menjadi tiga periode.
Menyusul kemenangannya dalam pilpres, Erdogan mengatakan bahwa salah satu prioritas utama pemerintah adalah memerangi inflasi, dan membereskan dampak bencana gempa pada 6 Februari lalu yang menewaskan lebih dari 50.000 korban di Turki, dan negara tetangga Suriah.
Lantas, bagaimana perkembangan inflasi di Turki?
Dikutip dari Arab News, Senin (29/5/2023) inflasi Turki 2023 pada April melambat menjadi 43,68 persen.
Indeks harga konsumen Turki naik 2,39 persen pada April dari bulan sebelumnya, menurut Institut Statistik Turki. Angka resmi sedikit kurang dari yang diperkirakan, dengan perkiraan bulanan rata-rata 2,60 persen dan perkiraan tahunan 44 persen.
Peningkatan inflasi terbesar di Turki terjadi pada sektor kesehatan sebesar 66,62 persen, diikuti oleh restoran dan hotel sebesar 66,41 persen serta makanan dan minuman non alkohol sebesar 53,92 persen.
Pemotongan suku bunga oleh Erdogan memicu krisis mata uang pada akhir 2021, mendorong inflasi Turki ke angka tertinggi dalam 24 tahun sebesar 85,51 persen tahun lalu.
Tetapi akhirnya Inflasi Turki berhasil jatuh pada Desember 2022 dan menyentuh 50,51 persen pada Maret 2023 dengan efek dasar yang menguntungkan dan lira yang relatif stabil.
Terkait situasi ekonominya, Bank Dunia mencatat Turki di tahun 2023 ini memiliki Produk Domestik Bruto atau PDB sebesar USD 906 miliar atau Rp. 13,5 kuadriliun, seperti dikutip dari laman worldbank.org.
Adapun PDB per capita Turki sebesar USD 10,661.2 atau Rp. 158,7 miliar.
Advertisement
Bank Dunia Prediksi Ekonomi Turki Tumbuh 3,2 Persen di 2023
Sebagai kelanjutan dari pemulihan pandemi Covid-19, Bank Dunia mengatakan, ekonomi Turki tumbuh sebesar 5,6 persen pada tahun 2022.
"Namun, ekonomi (Turki) telah kehilangan momentum di tengah lingkungan eksternal yang memburuk dan kebijakan moneter yang heterodoks," kata Bank Dunia.
Hal itu juga diperburuk dengan dua bencana gempa dahsyat pada 6 Februari 2023: di luar tragedi kemanusiaan, kerusakan fisik di 11 provinsi menyumbang 16,4 persen populasi Türki dan 9,4 persen ekonominya.
"Kerugian langsung diperkirakan mencapaiUSD 34,2 miliar, tetapi kebutuhan rekonstruksi bisa berlipat ganda. Gempa bumi menambah tekanan pada situasi keuangan makro yang semakin rapuh," ungkap Bank Dunia.
Bank Dunia juga menyebut, pengeluaran pra pemilu dan upaya rekonstruksi diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Badan itu memproyeksi ekonomi Turki akan tumbuh sebesar 3,2 persen pada tahun 2023 dan 4,3 persen pada tahun 2024 mendatang.