Pasar Keuangan Fluktuatif, Bahana Perbesar Alokasi Aset di Surat Berharga

Berbagai risiko tentunya menjadi perhatian PT Bahana TCW Investment Management, mulai dari risiko suku bunga, risiko likuiditas, risiko nilai tukar dan risiko inflasi.

oleh Arthur Gideon diperbarui 14 Jun 2023, 18:45 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2023, 18:45 WIB
IHSG
PT Bahana TCW Investment Management lebih memilih untuk memperbesar alokasi aset pada surat berharga dari pada saham sejak kuartal pertama.(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kondisi pasar keuangan domestik saat ini bergerak sangat fluktuatif sehingga perlu memaksimalkan pengelolaan investasi. Penyebab gerak fluktuatif industri keuangan ini dampak gejolak pasar keuangan global serta kondisi dalam negeri memasuki tahun politik.

Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menjelaskan, berbagai risiko tentunya menjadi perhatian anak usaha IFG ini, mulai dari risiko suku bunga, risiko likuiditas, risiko nilai tukar dan risiko inflasi.

Apalagi bank sentral Amerika (AS) akan mengadakan rapat terbuka atau yang disebut The Federal Open Market Committee pada 13-14 Juni, untuk memutuskan arah surat berharga yang dimiliki oleh otoritas, demi mendorong ekspansi sistem keuangan.

‘’Kondisi pasar keuangan saat ini cukup berfluktuatif, ditambah dengan meningkatkan sentimen dari dalam negeri menjelang pemilu, risiko yang perlu diperhatikan bila terjadi perubahan kebijakan fiskal dan moneter yang bisa mempengaruhi industri tertentu,’’ Tutur Budi Hikmat, dalam keterangan tertulis, Rabu (14/6/2023). 

Menjaga keseimbangan faktor eksternal dan internal bukanlah hal yang mudah di tengah-tengah kondisi pasar keuangan global yang bisa berubah setiap saat, yang pastinya akan berdampak pada pasar keuangan di dalam negeri.

Investor obligasi memperkirakan The Fed akan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5,25%, setelah melakukan pengetatan moneter sangat agresif sejak tahun lalu dengan kenaikan suku bunga.

Pengetatan the Fed tersebut direspon oleh Bank Indonesia (BI), dengan menaikkan suku bunga acuan di dalam negeri dari 3,5% pada Juli 2022, secara bertahap naik menjadi 5,75% pada Januari 2023.

Memasuki Februari hingga Mei 2023, BI mempertahankan suku bunga acuan, untuk selanjutnya akan diputuskan kembali dalam rapat dewan gubernur yang akan dilaksanakan pada 21-22 Juni mendatang.

 

Kinerja Positif

FOTO: PPKM Diperpanjang, IHSG Melemah Pada Sesi Pertama
Karyawan mengambil gambar layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Sebanyak 111 saham menguat, 372 tertekan, dan 124 lainnya flat. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Bahana menilai saat ini risiko suku bunga dan inflasi cukup terjaga. Tekanan inflasi sejak awal tahun mengalami penurunan, yang tercermin pada angka inflasi Mei 2023 sebesar 4%, dibandingkan akhir tahun lalu yang sempat naik ke 5,51%. Sedangkan nilai tukar rupiah menurut kurs tengah BI pada 5 Juni 2023 sempat tertekan ke level Rp 15.078, perlahan turun ke kisaran Rp 14.948 pada 13 Juni 2023.

‘’Selain menjaga keseimbangan berbagai risiko yang ada, kami juga cukup ketat dalam memilih saham-saham untuk tempat berinvestasi, bisa saja satu korporasi ingin berinvestasi di saham tertentu, tapi setelah kami analisa ternyata saham itu cukup berisiko sehingga kami memberikan rekomendasi supaya perusahaan mempertimbangkan kembali pilihan sahamnya,’’ tutur Budi.

Pengetatan manajemen risiko sangatlah dibutuhkan dalam kondisi pasar keuangan yang berfluktuasi, terutama risiko pasar. Melihat perkembangan pasar sepanjang tahun ini, Bahana lebih memilih untuk memperbesar alokasi aset pada surat berharga dari pada saham sejak kuartal pertama.

Strategi ini terbukti mampu mencatat kinerja positif, tercermin dari indeks IBPA surat utang negara (SUN) telah mencapai 5,57% hingga akhir Mei, dibanding kinerja saham yang tercatat negatif 0,45% sudah termasuk dividen.

 

Suku Bunga BI

Mencermati kestabilan rupiah dan 7-day repo rate yang lebih tinggi dari inflasi tahunan, sebetulnya BI punya peluang menurunkan bunga. Namun BI kemungkinan lebih leluasa menurunkan bunga setelah penurunan the Fed. Ruang moneter yang lebih akomodatif dapat dilakukan BI melalui kebijakan macroprudential seperti penurunan giro wajib minimum.

‘’Kedepan potensi penguatan saham semakin terbuka, setelah terjadinya rally di pasar obligasi. Yield yang lebih rendah akan menurunkan risk free rate sehingga meningkatkan valuasi saham,'’ papar Budi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya