Liputan6.com, Jakarta - Aksi penjualan besar-besaran (sell-off) terhadap US Treasury baru-baru ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan pelaku pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Namun hingga kini, belum ada kejelasan pasti mengenai pihak yang menjadi aktor utama di balik aksi tersebut.
Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto, menjelaskan data kepemilikan US Treasury yang tersedia masih bersifat tertinggal (lagging), sehingga sulit memastikan siapa yang melakukan penjualan dalam jumlah besar. Ia juga mencatat meskipun China kerap disorot, posisi pemegang US Treasury terbesar saat ini justru dipegang oleh Jepang.
Baca Juga
“Sebenarnya kita masih belum tahu, yang melakukan sell-off itu China atau bukan. Karena datanya juga lag,” ujar Suhindarto dalam konferensi pers, Selasa (15/4/2025).
Advertisement
Ia menambahkan belum ada kepastian apakah aksi tersebut akan menjadi tren berkelanjutan atau hanya bersifat sementara. Menurutnya, saat ini investor global mulai melakukan penilaian ulang terhadap dominasi US Treasury dan dolar AS sebagai instrumen investasi yang dianggap aman.
Investor juga mulai mengetes atau reassess kembali terkait dengan dominasi dari US Treasury dan juga dolar ini sebagai aset yang mereka anggap aman.
Dampak Aksi Jual Obligasi AS
Dampak dari aksi jual US Treasury ini berpotensi meluas ke pasar surat utang global, termasuk Indonesia. Suhindarto menjelaskan lonjakan yield bisa terjadi apabila penawaran tidak diimbangi oleh permintaan yang memadai.
“Kalau misalkan terjadi aksi jual, tapi permintaannya masih bisa mengikuti, itu tidak akan terlalu berdampak signifikan. Tapi kalau permintaannya tidak bisa mengikuti, itu yang bisa membuat yield-nya melonjak cukup signifikan,” katanya.
Lonjakan yield US Treasury secara langsung bisa memengaruhi pasar obligasi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh acuan (benchmark) yang digunakan, di mana banyak negara, termasuk Indonesia, menjadikan yield US Treasury sebagai patokan. Jika yield melonjak secara tiba-tiba, bukan tidak mungkin yield obligasi Indonesia turut naik.
“Tidak hanya Indonesia saja, tapi mungkin banyak negara juga akan mengalami hal serupa. Jadi memang event tersebut sebenarnya tidak akan berdampak baik bagi pasar surat utang dunia,” pungkas Suhindarto.
Pertumbuhan Penerbitan Surat Utang Korporasi di Indonesia
Sebelumnya, Pasar surat utang korporasi menunjukkan pertumbuhan signifikan pada kuartal pertama tahun ini. Berdasarkan data dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), total penerbitan surat utang korporasi hingga akhir Maret 2025 telah mencapai Rp46,7 triliun, dengan mayoritas berasal dari obligasi dan sukuk.
"Hingga periode akhir kuartal pertama, pasar surat utang korporasi sudah ada penerbitan sekitar Rp46,7 triliun yang mana di antaranya Rp46,4 triliunnya adalah berasal dari instrumen yang berbentuk obligasi korporasi dan juga sukuk," jelas Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo dalam konferensi pers, Suhindarto, Selasa (15/4/2025).
Ia menambahkan angka ini mencerminkan pertumbuhan yang sangat baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu tumbuh di sekitar 77%.
Sedangkan, untuk instrumen lainnya, seperti Medium Term Notes (MTN), penerbitan hanya mencapai Rp0,4 triliun. Jika bandingkan dengan tahun lalu, untuk penerbitan MTN dan yang sejenis seperti RTN ini nilainya relatif lebih rendah dibanding tahun lalu yang mana tahun lalu mencapai Rp0,7 triliun selama kuartal pertama.
“Sementara itu, belum ada penerbitan efek utang lainnya seperti perpetual bonds, surat berharga komersial, maupun sekuritisasi. Kalau dibandingkan dengan tahun lalu, di tahun lalu ada sekitar Rp0,5 triliun atau sekitar Rp500 miliar yang diterbitkan di triwulan pertamanya," ujarnya.
Advertisement
Sektor Pulp and Paper Memimpin
Dari sisi sektoral, Suhindarto menyebut sektor pulp and paper menjadi penyumbang terbesar penerbitan surat utang korporasi di awal tahun ini. Ada 4 perusahaan yang menerbitkan surat utang di sektor ini dengan nilai mencapai Rp13,2 triliun
Di posisi kedua adalah sektor pertambangan dengan penerbitan Rp9,2 triliun dari 6 perusahaan, disusul oleh sektor multifinance dengan Rp8,3 triliun juga dari 6 perusahaan.
“Dua sektor lainnya yang juga mencatatkan penerbitan cukup besar adalah telekomunikasi dan perbankan. Untuk telekomunikasi di tahun ini ada satu perusahaan mencapai Rp5,5 triliun, sementara yang di perbankan mencapai Rp5 triliun," lanjut Suhindarto.
