Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) kembali menggelar Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023.
IPOC 2023 adalah konferensi industri minyak sawit terbesar dunia, yang memberikan informasi perkembangan industri sawit Indonesia dan global terkini serta menganalisis tren harga minyak sawit ke depan.
19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook mengusung tema “Enhancing Resiliency Amid Market Uncertainty” atau Meningkatkan Ketahanan di Tengah Ketidakpastian Pasar, di BICC, The Westin Resort Nusa Dua Bali, yang berlangsung pada1-3 November 2023.
Advertisement
Dalam sambutannya, Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengungkapkan, tema ini diangkat mengingat dinamika perekonomian dunia yang terus dilanda ketidakpastian.
Misalnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingginya inflasi yang dialami oleh sepertiga negara di dunia, yang diikuti oleh kebijakan bank sentral di seluruh dunia untuk mempertahankan suku bunga, yang menyebabkan hingga runtuhnya beberapa bank di Amerika Serikat, dan negara lain seperti Credit Suisse di Swiss yang kemudian memerlukan pengambilalihan yang didukung pemerintah.
"Di sisi lain, kami juga melihat ketidakstabilan harga minyak sawit dan produktivitas yang stagnan. Faktor-faktor tersebut mengindikasikanketidakpastian perdagangan global sehingga ketahanan dunia usaha perlu ditingkatkan," kata Eddy dalam pembukaan IPOC 2023, di BICC, The Westin Resort Nusa Dua Bali, Kamis (2/11/2023).
Dampak Perang
Lebih lanjut, Eddy mengatakan, pengusaha sawit sadar bahwa perang antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung. Perang ini mempunyai dampak besar dan berpotensi jangka panjang terhadap pasokan pangan dan energi global serta harga-harga di seluruh dunia.
Eddy menyadari bahwa selama perang, para petani tidak menanam atau memanen. Alhasil dampaknya pun dirasakan oleh dunia. Diketahui, Ukraina adalah produsen biji-bijian seperti gandum, jagung, dan minyak bunga matahari.
"Dan jika kita gabungkan hal ini dalam konteks global Rusia dan Ukraina, tanpa memperhitungkan biaya pupuk dan produk berbasis pupuk, kita akan melihat bencana yang akan segera terjadi," ujarnya.
"Dengan demikian, kita melihat adanya gangguan pada pasokan yang berdampak pada ketersediaan pangan bagi masyarakat di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang," tambahnya.
Advertisement
Petani Kecil Tersingkir dari Rantai Pasok
Selain itu, di tengah kekhawatiran global mengenai ketahanan pangan, Uni Eropa mendorong konsumsi produk-produk 'bebas deforestasi' dengan mengadopsi Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Peraturan ini tentunya akan berdampak signifikan terhadap biaya produksi tidak hanya bagi produsen kayu, kedelai, kelapa sawit, daging sapi, kulit, dan produk pertanian lainnya, namun juga bagi perusahaan makanan dan minuman, karena mereka harus mematuhi peraturan baru mengenai penggunaan sumber bahan, kemasan plastik, barang sekali pakai, dan pengurangan limbah makanan.
Segala biaya yang timbul, pada akhirnya akan ditanggung oleh konsumen akhir. Sementara dengan adanya peraturan EUDR ini hampir dapat dipastikan bahwa petani kecil akan tersingkir dari rantai pasok.
"Melihat fakta di atas, sangat menarik untuk kita bahas lebih dalam dan mendapatkan wawasan lebih dalam mengenai situasi tersebut dari para ahli terkait agenda IPOC tahun ini," pungkasnya.