Liputan6.com, Jakarta - Reforma Agraria merupakan salah satu Program dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Reforma Agraria menjadi pilar pembangunan dan berdampak langsung bagi pemerataan ekonomi. Tujuan Reforma Agraria adalah untuk mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, dan dapat menangani konflik agraria.
Plt. Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan, selama kurang lebih lima tahun terakhir ini, sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, telah banyak capaian yang berhasil diselesaikan.
Baca Juga
"Target Reforma Agraria sebesar 9 juta hektare, realisasinya telah terlampaui mencapai 12,1 juta hektare. Namun capaian tersebut, belum proposional dengan target rincian pada legalisasi aset, yaitu pada tanah transmigrasi,” jelas Susiwijono dalam sambutannya pada Workshop Road to Reforma Agraria Summit Bali 2024 yang diadakan Kementerian ATR/BPN, di Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Advertisement
Target legalisasi aset pada tanah transmigrasi sebesar 0,6 juta hektare, capaiannya baru mencapai 148.621 hektare atau sebesar 24,7%. Dalam hal ini diperlukan koordinasi antar K/L/D dalam mendukung percepatan untuk legalisasi aset pada tanah transmigrasi.
Terkait realisasi capaian Reforma Agraria mengenai Konflik Agraria dan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), terdapat 1.385 kasus/aduan yang telah diterima per Maret 2024, dengan rincian 716 kasus yang masuk ke dalam klaster Kementerian ATR/BPN, 359 kasus klaster Kementerian BUMN, 244 kasus klaster Kementerian LHK, dan 66 kasus ke dalam klaster irisan lebih dari 1 K/L.
Selain itu, dari 70 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pada LPRA sebanyak 24 LPRA (14.968 bidang /5.133 Ha untuk 11.017 KK) data per Februari 2024.
“Di luar akumulasi target, terkait tanah transmigrasi dan konflik agraria masih perlu kita dorong penyelesaiannya bersama-sama. Bahkan, salah satu yang di asesmen adalah masalah terkait tanah dan agraria untuk proses aksesi Indonesia bergabung menjadi anggota OECD,” kata Plt. Deputi Susiwijono.
Luasan Tanah
Potensi Sumber Tanah Objek Reforma Agraria yang berasal dari Penyelesaian Konflik Agraria yang sebanyak 46 LPRA dari 70 LPRA, kemudian Adendum IUPHHK, Review RTRW, Penegasan Transmigrasi, Tata Batas Lama, yang belum sertipikat seluas 717.419,41 hektare, serta Beban Sertipikat Hak Milik Tanah Transmigrasi yang belum terbit seluas 89.303,63 hektare.
“Oleh karena itu, diperlukan percepatan penyelesaian terhadap tanah objek Reforma Agraria yang bermasalah, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan sertipikasi oleh Kementerian ATR/BPN,” ungkap Plt. Deputi Susiwijono.
Isu dan tantangan yang masih menghambat terkait Legalisasi Tanah Transmigrasi, salah satunya ialah belum tersinkronisasinya data tabular dan spasial terkait transmigrasi di K/L sehingga sulit untuk melakukan penyelesaian permasalahan legalisasi tanah transmigrasi. Adapun terkait Permasalahan Penyelesaian Konflik Agraria, salah satunya adalah belum tersedia kebijakan yang mengatur mengenai penyelesaian konflik agraria, khususnya konflik agraria pada aset tanah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Barang Milik Negara (BMN), dan Barang Milik Daerah (BMD).
Advertisement
Survei Bersama
Untuk itu, diperlukan kebijakan yang mampu menjawab isu dan tantangan Reforma Agraria, dan pada 3 Oktober 2023 telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, yang dalam hal ini untuk penyelesaian permasalahan pertanahan transmigrasi dan penyelesaian Konflik Agraria, di antaranya yaitu survei bersama.
“Tujuan survei bersama adalah untuk sinkronisasi data subjek dan objek TORA untuk penegasan areal transmigrasi untuk sumber TORA. Mekanisme penyelesaian Konflik Agraria pada aset BUMN/BUMD, aset BMN dan BMD. Selain itu, untuk percepatan telah disusun Rencana Aksi terkait Legalisasi Aset Tanah Transmigrasi dan Penyelesaian Konflik Agraria yang terlampir pada Perpres Nomor 62 Tahun 2023,” ujar Plt. Deputi Susiwijono.
Mekanisme Penyelesaian Konflik Agraria telah diatur mulai dari tahapan penerimaan laporan/aduan konflik agraria dari masyarakat, kemudian akan diinventarisasi data, verifikasi, analisis data fisik, dan data yuridis, yang selanjutnya dibahas oleh Tim Pelaksana untuk mendapatkan rekomendasi pola penyelesaian.
Rekomendasi Penyelesaian
Rekomendasi pola penyelesaian dapat berupa dua cara yakni apabila konflik agraria pada aset tanah BUMN dilakukan dengan kerja sama Pemanfaatan Aset BUMN, atau Hak Atas Tanah (HAT) berjangka waktu diatas Hak Pengelolaan (HP) BUMN, atau juga Redistribusi Tanah apabila sudah dimanfaatkan dan dikuasai Masyarakat lebih dari 20 tahun dengan itikad baik.
Sementara, pola penyelesaian lainnya apabila konflik agraria pada aset tanah BMN/BMD dapat dilakukan pemindahtanganan untuk kepentingan umum jika telah memenuhi kriteria ketentuan konflik agraria yang disyaratkan.
“Oleh karena itu, mengingat pentingnya Workshop Road to Bali 2024 dengan tema ‘Resolusi Penyelesaian Permasalahan Pertanahan Transmigrasi dan Penyelesaian Konflik Agraria pada Aset BMN/BMD, BUMN/BUMD yang dikuasai oleh Masyarakat’ diharapkan dapat memberikan resolusi yang nyata dalam penyelesaian permasalahan pertanahan transmigrasi dan penyelesaian konflik agraria di Indonesia,” pungkas Plt. Deputi Susiwijono.
Advertisement