Ternyata Ini Ganjalan Saat Indonesia Gencar Bangun Smelter

Rencana Indonesia mengembangkan industri smelter masih belum bisa berjalan mulus.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 04 Jul 2024, 13:42 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2024, 13:42 WIB
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif meresmikan dua pusat peribadatan di PSN Smelter Merah Putih Kolaka, Sulawesi Tenggara pada Senin (1/7/2024) dan Selasa (2/7/2024).(Dok Kementerian ESDM)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif meresmikan dua pusat peribadatan di PSN Smelter Merah Putih Kolaka, Sulawesi Tenggara pada Senin (1/7/2024) dan Selasa (2/7/2024).(Dok Kementerian ESDM)

Liputan6.com, Jakarta Ternyata pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter) masih memiliki tantangan tersendiri. Tantangan berasal dari pasokan atau penyediaan tenaga listrik.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, tenaga listrik yang dibutuhkan untuk smelter sangat besar, dan mayoritas masih dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan dasar batubara yang menghasilkan emisi gas buang cukup besar.

"Di Sulawesi sendiri, smelter yang ada di sini, mengkonsumsi kurang lebih 20 GW, dan itu didominasi dari batubara, jadi kalau dihitung emisi karbonnya ini sekian juta ton, nah ini tentu saja akan menjadi satu tantangan ya buat industri-industri smelter yang ada di sini," ujar dia melansir laman resminya, Selasa (2/7/2024).

Arifin melanjutkan bahwa hal tersebut menjadi tantangan bagi industri smelter, karena sekarang dunia menuntut produk-produk yang merupakan hasil dari pemanfaatan energi bersih.

"Negara Eropa sudah berpacu untuk mendorong pemakaian energi bersih dan sudah mulai menerapkan mekanisme yang disebut 'Cross Border Carbon Mechanism', nanti disitu ada masalah perpajakan emisi gas CO2 ke depan," imbuhnya.

Melalui penerapan Cross Border Carbon Mechanism, tambah Arifin, nantinya akan ada pengenaan pajak karbon, sehingga produk industri dalam negeri akan terbebani dengan pajak karbon tersebut serta akan menjadi mahal dan tidak kompetitif.

Saat ini, pemerintah sedang menyusun rencana untuk bisa menyediakan tenaga listrik dengan energi yang memiliki emisi karbon yang rendah.

Itu karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar, seperti prospek sumber gas di Blok Masela yang akan produksi pada tahun 2030 dengan proyeksi sebanyak 10,5 juta ton LNG per tahun.

Kemudian di Selat Makassar ada lapangan miliki ENI yang akan produksi di tahun 2027-2028, serta satu blok di Sumatera Bagian Utara, yakni Blok Andaman.

Potensi Lain

Smelter tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI) melalui PT Smelting yang berlokasi di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. (Dok MIND ID.
Smelter tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI) melalui PT Smelting yang berlokasi di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. (Dok MIND ID.

Potensi besar lain, jelas Arifin, adalah energi matahari di Indonesia, kemudian potensi angin, namun karena terbatas industri pendukungnya, maka potensi-potensi besar tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Potensi lain yang belum dimaksimalkan adalah potensi hidro yang berlokasi di Kalimantan Utara dan Papua.

Dengan memanfaatkan potensi-potensi tersebut, maka produk-produk yang dihasilkan berasal dari energi yang rendah emisi sehingga harganya bisa kompetitif.

"Tentu saja itu bisa menjadi peluang besar yang bisa ditangkap oleh industri, bagaimana kita itu bisa menyiapkan produk-produk yang didukung oleh energi bersih untuk bisa bersaing secara global. Produk kita pun juga tidak tergantung kepada satu pasar yang belum menerapkan Cross Border Carbon Mechanism, karena produknya sudah standar internasional dan kompetitif," pungkasnya.

Proyek Smelter

PT Freeport Indonesia (PTFI) yang telah menyelesaikan lebih dari 80 persen pembangunan smelter per akhir Oktober
PT Freeport Indonesia (PTFI) yang telah menyelesaikan lebih dari 80 persen pembangunan smelter per akhir Oktober, sesuai target linimasa kurva-S dari pemerintah. (Dok. Istimewa)

Di sisi lain, Arifin Tasrif memberikan sinyal terkait progres pembangunan proyek pemurnian (smelter) nikel milik PT. Ceria Nugraha Indotama (Ceria) di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Arifin mengungkapkan bahwa proyek smelter nikel Ceria merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang termaktub ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

"Saya melihat kemajuan fisik proyek smelter dari Ceria, kita harapkan bahwa mechanical completion bisa selesai Oktober dan bisa commissioning di akhir tahun ini," ujarnya, Selasa (2/7).

Adapun proyek smelter yang dimaksud adalah smelter dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF), yang pada tahap awal dibangun 1 jalur produksi (1 x 72 MVA) untuk mengolah bijih nikel saprolit, dan ke depannya akan dibangun sebanyak empat lajur produksi (4 X 72 MVA) secara bertahap dengan kapasitas produksi 252.700 ton per tahun.

Smelter tersebut nantinya akan mendapatkan pasokan listrik dari PT. PLN (Persero) dengan total kapasitas 414 MVA (352 MW) yang telah disepakati dengan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL), yang pasokan listriknya akan mulai dialirkan bertahap pada tahun ini.

 

Harapan ke Pengusaha

Lebih lanjut, Arifin menekankan bahwa pemerintah berharap pelaku industri pemurnian mineral harus bisa mengembangkan ekosistem untuk produk akhir elektrifikasi, karena Indonesia memiliki sumber daya mineral yang sangat bernilai.

"Kita harus mengantisipasi, bagaimana industri dalam negeri ini bisa berkembang, cita-cita kita elektrifikasi bisa tercapai, nikel ini tentu saja ada di poros baterai NCM (Nikel Cobalt Mangan), kita punya nikel, kemudian limonet kita juga punya cobalt konten yang signifikan, kemudian juga kita masih punya sumber mangan di Nusa Tenggara Timur, nah inilah yang harus kita integrasikan," imbuh Menteri Arifin.

Sementara itu, CEO Ceria Group Derian Sakmiwata mengungkapkan bahwa smelter RKEF Ceria line 1 akan beroperasi dalam dua hingga tiga bulan ke depan. "Ukuran furnace-nya 72 MVA ini yang nanti akan input raw mineral sebesar 1,4 juta metrik ton per tahun di kadar 1,59," urainya.

Derian menyebut, itu merupakan Langkah awal Ceria, dan RKEF masih memiliki target membangun 4 jalur RKEF yang akan dibangun secara bertahap, dan juga akan membangun smelter dengan teknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching) dan seluruh aktivitas industri CERIA berpedoman terhadap kaidah Environment, Social and Governance (ESG).

"Saat ini Ceria juga aktif untuk menerapkan IRMA (Initiative for Responsibility Mining Assurance), ini adalah cara Ceria untuk mengupgrade pola operasi untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dan sosial lebih detail lagi untuk mencegah bahaya-bahaya historis yang bisa terjadi lagi dan mencegah bahaya-bahaya yang akan terjadi," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya