Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim dalam dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi timah mempertanyakan secara detail apa yang membuat perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menilai sewa smelter yang dilakukan PT Timah lebih mahal.
Hal ini ditanyakan Majelis Hakim saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi ahli Suaedi selaku Auditor Investigasi dari BPKP atas terdakwa Helena, Riza Pahlevi, Emil Ermindra, dan MB Gunawan.
Advertisement
Baca Juga
Mulannya, Suaedi menjelaskan bahwa data harga pokok produksi yang didapat dari PT Timah jika dibandingkan dengan sewa smelter swasta.
Advertisement
"Kami semakin yakin bahwa terdapat kerugian juga, karena si pemain yang sama bilang smelter itu harganya paling sekian gitu, tidak sebesar ini," ucap Sauedi saat sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2024).
Hakim pun meminta keterangan lebih detail dari ahli mengenai perhitungan yang tidak wajar sehingga memberikan kesimpulan sewa smelter yang dilakukan PT Timah kemahalan.
"Yang dikerjasamakan itu nilainya US$3.700 sampai US$4.000. Akhir 2020 bagaimana keterangan saksi di persidangan itu mengalami penurunan sampai di angka US$2.500 dan US$2.700 Stressing kami itu adalah hitung-hitungannya," tanya Hakim.
Tidak sampai disitu, Hakim juga mempertanyakan variabel apa yang membuat harga sewa smelter tersebut dinilai lebih mahal jika dibandingkan dengan menggunakan smelter milik PT Timah sendiri.
"Kalau itu adalah kemahalan, variabel apa saja. Tolong jelaskan variabel apa saja, kemudian bisa tersimpulkan bahwa itu adalah kemahalan. Itu yang kita butuhkan itu dari ahli, jadi tidak perlu lagi membaca-bacakan BAP," tanya Hakim.
Saat Sauedi ingin menunjukan perhitungannya, dirinya menegaskan hal tersebut terdapat di laporan hasil audit di halam 33. Namun, JPU menolak untuk menunjukan hasil audit tersebut.
"Di laporan kami halaman 33. Laporan hasil audit," kata Sauedi.
"Itu sebagai alat bukti kami Majelis," kata JPU saat memotong penjelasan ahli.
Hakim pun mempertanyakan kepada JPU kenapa laporan hasil audit tersebut tidak ingin diperlihatkan di dalam persidangan.
"Apakah saudara (JPU) memang tidak mau memperlihatkan," tanya Hakim.
"Ini salah satu alat bukti, jadi tidak kami perbanyak dan kami perlihatkan di persidangan," jawab JPU.
"Untuk surat ini tidak bisa kami perbanyak seperti bukti lain, tapi kalau mau ditunjukan bisa ditunjukan," tambah JPU.
"Kalau bisa diperlihatkan di slide silahkan, karena ini terbuka untuk umum. Umum aja bisa menilai apalagi kita di persidangan," kata Hakim.
"Jadi ada ketakutan apa JPU tidak mau kasih lihat," timpal Penasihat Hukum Terdakwa.
"Dibuka aja tidak ada yang perlu ditutupi. A diperlihatkan aja," kata Hakim.
Â
Kerugian Negara
Sebelumnya, untuk diketahui, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp300 triliun.
Perhitungan tersebut didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
"Bahwa akibat perbuatan Terdakwa Suranto Wibowo bersama-sama Amir Syahbana, Rusbani alias Bani, Bambang Gatot Ariyono, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, Alwin Albar, Tamron alias Aon, Achmad Albani, Hasan Tjhie, Kwan Yung alias Buyung, Suwito Gunawan alias Awi, MB Gunawan, Robert Indarto, Hendry Lie, Fandy lingga, Rosalina, Suparta, Reza Andriansyah dan Harvey Moeis sebagaimana diuraikan tersebut di atas telah mengakibatkan kerugian Keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14," ungkap Jaksa saat membacakan dakwaan Harvey Moeis di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu 24 Agustus 2024.
Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Lalu, jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.
Advertisement