Kerugian Akibat Kejahatan Siber Diramal Tembus Rp 164,7 Kuadriliun di 2025

Kerugian akibat kejahatan siber secara global bakal menembus USD 10,5 triliun, atau setara 164,75 kuadriliun di 2025. Angka itu melonjak dari total kerugian di 2022 sebesar USD 7 triliun, dan USD 2 triliun di 2019.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 13 Nov 2024, 12:00 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2024, 12:00 WIB
Director of Payment Ecosystem Risk and Control Visa, Lim Kah Wee
Director of Payment Ecosystem Risk and Control Visa, Lim Kah Wee, memperingatkan atas bahaya serangan siber terhadap sektor bisnis di masa depan. Khususnya bagi para pelaku bisnis sekelas UMKM yang kini banyak bertebaran di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Director of Payment Ecosystem Risk and Control Visa, Lim Kah Wee, memperingatkan atas bahaya serangan siber terhadap sektor bisnis di masa depan. Khususnya bagi para pelaku bisnis sekelas UMKM yang kini banyak bertebaran di Indonesia.

Lim menyatakan, kasus cyber crime saat ini sangat progresif, hingga menciptakan kerugian bisnis triliunan rupiah. Pelaku kejahatan siber saat ini sudah sangat terorganisir sebagai sebuah entitas bisnis.

"Pelaku kejahatan (siber) hari ini seperti bisnis. Mereka punya satu tujuan, yaitu menghasilkan uang. Mereka memiliki CEO, COO, CEO, apapun itu untuk menciptakan uang secepat mungkin," ungkapnya dalam Indonesia Knowledge Forum (IKF) XIII-2024 yang digelar Bank BCA di The Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Selasa (12/11/2024).

Menurut estimasinya, kerugian akibat kejahatan siber secara global bakal menembus USD 10,5 triliun, atau setara 164,75 kuadriliun di 2025. Angka itu melonjak dari total kerugian di 2022 sebesar USD 7 triliun, dan USD 2 triliun di 2019.

Jumlah itu akan memakan porsi tak sedikit dari total produk domestik bruto (PDB) global, yang pada 2025 diperkirakan berada di kisaran USD 115 triliun.

Dengan perangkat AI, Lim menyebut pelaku kejahatan siber bisa dengan mudah membobol data keuangan individu maupun perusahaan. Ini jadi semacam peringatan bagi suatu negara agar lebih memperhatikan sistem keamanan digital.

"Jadi mereka memanfaatkan apapun yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan uang. Semisal lewat real time payments, monetisasi dengan cepat," imbuhnya.

Singkatnya, ia meminta badan otoritas suatu negara untuk memperkuat sistem digital, dengan memanfaatkan next generation tools semacam AI. Sehingga, Lim berharap tak akan ada banyak rekening yang telah terkoneksi dengan sistem digital, simpanannya bakal terkuras habis di masa depan.

"Mereka terus menerus membuktikan Anda dan saya, dan semua sistem pembayaran mudah dibobol. Dengan begitu, pertanyaannya adalah kapan kita menunggu mereka menghasilkan uang sebanyak mungkin dari Anda. Dengan itu, saya berharap yang terbaik untuk Anda semua, semoga sukses," tuturnya.

Microsoft: Terjadi 7.000 Serangan Terhadap Password Setiap Detik

Ransomware
Indonesia Kena Serangan Siber, Pakar: Jangan Sepelekan Keamanan. (Doc: PCMag)

Microsoft merilis Laporan Pertahanan Digital tahun 2024. Laporan ini memperlihatkan makin tingginya angka serangan siber yang terjadi di dunia.

Mengutip Gizchina, Jumat (18/10/2024), laporan ini menggarisbawahi tentang peningkatan risiko di dunia maya.

Dalam laporan disebutkan, telah terjadi 7.000 serangan per detik terhadap kata sandi atau password. Selain itu gambaran keamanan siber juga makin suram, menurut laporan itu.

Salah satu masalah utama dalam laporan tersebut adalah adanya lonjakan serangan yang didukung oleh negara-negara. Laporan yang sama juga mengklaim bahwa beberapa negara ada di balik banyak serangan siber di dunia.

Negara-negara tersebut menggunakan peretas atau hacker untuk mencuri data, menyebabkan kerusakan, hingga menyebarkan ransomware.

Para peretas disebut memiliki dana besar dan akses ke tool serta pelatihan yang lebih baik. Hal ini membuat serangan siber terasa lebih canggih dan membahayakan banyak sistem.

Pemimpin Tim Keamanan dan Kepercayaan Pelanggan di Microsoft, Tim Burt, mnengungkapkan, peretas yang disponsori negara menjadi makin terampil dan lebih sulit untuk dihentikan.

Pasalnya dengan lebih banyak dana dan pengetahuan teknologi, mereka bisa mengganggu layanan, mencuri data penting, hingga mengubah berbagai hal secara online.

Ada Aktor Kejahatan Siber yang Disponsori Negara

Ilustrasi malware, scam, ancaman siber terkait Covid-19
Ilustrasi malware, scam, ancaman siber terkait Covid-19. Kredit: Engin Akyurt from Pixabay

"Negara-negara menjadi kian agresif di sektor siber dan memiliki tingkat kecanggihan teknis yang terus menigkat, dan ini mencerminkan peningkatan investasi baik dalam sumber daya dan pelatihan," kata Burt.

Lebih lanjut ia juga berpendapat, peretas yang disponsori negara ini bukan hanya mencuri data tetapi juga menyebarkan ransomware, menyiapkan backdoor untuk penghancuran di masa mendatang, melakukan operasi sabotase, dan melakukan kampanye pengaruh.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya