Liputan6.com, Jakarta Indonesia resmi menjadi anggota penuh BRICS pada Senin, 6 Januari 2025 yang diumumkan oleh Brasil. BRICS merupakan sebuah blok yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Keanggotaan Indonesia dalam kelompok ini tentunya akan mempengaruhi dinamika politik dan ekonomi internasional, terutama dalam konteks hubungan bilateral dengan Amerika Serikat (AS), khususnya di bawah pemerintahan Donald Trump yang dikenal dengan pendekatan keras terhadap negara-negara yang dianggap bersaing.
Advertisement
Baca Juga
Secara historis, BRICS dipandang sebagai kelompok negara-negara yang lebih cenderung memiliki sikap yang berseberangan dengan kebijakan luar negeri AS, terutama karena dominasi China dan Rusia di dalamnya.
Advertisement
Selain itu Trump, yang dikenal dengan kebijakan proteksionisnya, sempat mengancam akan mengenakan tarif tinggi terhadap negara-negara BRICS yang berupaya mengurangi ketergantungan mereka terhadap dolar AS.
"Ya, ini Trump kan sempat mengancam anggota BRICS kalau betul-betul melakukan upaya de-dolarisasi, katanya akan menerapkan tarif 100 persen," kata Peneliti Senior Pusat Riset Politik BRIN, Dewi Fortuna Anwar, dalam Liputan6 Update Spesial, ditulis Rabu (22/1/2025).
Dalam konteks ini, beberapa kalangan berpendapat bahwa bergabungnya Indonesia dengan BRICS bisa membuat citra Indonesia lebih terasosiasi dengan kelompok negara-negara yang anti-AS, meskipun Indonesia sendiri tetap mengusung kebijakan luar negeri bebas aktif.
"Jadi, ada yang melihat bahwa Indonesia dengan masuk BRICS seolah-olah sudah masuk ke dalam kelompok yang sebenarnya anti-AS. Nah, apakah ini sesuai dengan politik bebas aktif misalnya," ujarnya.
Â
Politik Bebas Aktif Indonesia di BRICS
Namun, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa keputusan untuk bergabung dengan BRICS merupakan bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Maka dengan kata lain, meskipun bergabung dalam sebuah blok yang memiliki kedekatan dengan negara-negara seperti China dan Rusia, Indonesia berkomitmen untuk tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa. Hal ini mencerminkan posisi Indonesia yang berupaya memainkan peran diplomatik yang seimbang di tengah ketegangan internasional.
"Tapi pemerintah Indonesia mengatakan bahwa kita bergabung dengan BRICS itu adalah bagian dari kebijakan bebas aktif kita. Nah, karena kita juga bergabung dengan OECD dan dekat dengan negara-negara barat," katanya.
Â
Advertisement
Risiko Terhadap Hubungan Ekonomi dengan Amerika Serikat
Kata Dewi, meskipun Indonesia menyatakan bahwa kebijakan luar negerinya tetap bersifat independen dan bebas aktif, ada risiko yang perlu diwaspadai terkait hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat.
Selama ini, AS merupakan mitra penting Indonesia dalam perdagangan dan investasi. Jika AS menanggapi keanggotaan Indonesia dalam BRICS dengan kebijakan proteksionis seperti tarif tinggi, dampaknya bisa sangat merugikan perekonomian Indonesia. Sebab, pasar Amerika Serikat masih menjadi salah satu tujuan ekspor utama Indonesia.
"Tapi, risiko bahwa citra BRICS yang anti-AS ini perlu juga kita waspadai," imbuhnya.
Menurutnya, agar tidak terlalu terkesan didominasi oleh China dan Rusia, Indonesia perlu memperkuat perannya sebagai bagian dari gerakan Global South dan mempromosikan prinsip-prinsip non-blok yang lebih inklusif. Langkah ini penting untuk menghindari pemahaman bahwa Indonesia sepenuhnya berpihak pada negara-negara yang berseberangan dengan AS.
"Indonesia perlu meningkatkan nilai BRICS sebagai bagian dari gerakan global south, bagian dari upaya dari non-aligned movement atau non-block dan sebagainya," jelasnya.
Â
Hubungan dengan Negara Barat
Adapun untuk menjaga keseimbangan, Indonesia perlu secara intensif meningkatkan hubungan dengan negara-negara Barat, terutama dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Hal ini tidak hanya penting untuk menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa keanggotaan Indonesia dalam BRICS tidak berarti mengabaikan hubungan baik dengan negara-negara besar dunia yang berorientasi Barat. Diplomasi yang intens dan proaktif akan sangat dibutuhkan untuk menjaga hubungan tersebut tetap konstruktif dan saling menguntungkan.
"Jadi, jangan dibiarkan BRICS itu betul-betul menjadi kendaraan yang terlalu didominasi oleh RRT dan Rusia. Jadi komunikasi intensif dengan pihak Amerika Serikat dalam hal ini dengan pemerintahan Donald Trump itu penting. Sebab bagaimanapun pasar Amerika masih penting bagi Indonesia. Dan kalau kena tarif 100% saya kira berat juga bagi Indonesia," pungkasnya.
Advertisement