Alasan BI Gelar Rapat Darurat Naikkan BI Rate

Kenaikan BI Rate sebesar 50 basis poin menjadi 7% diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur BI darurat. Apa alasannya BI gelar rapat itu?

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 29 Agu 2013, 15:41 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2013, 15:41 WIB
bi-rate130514b.jpg
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia akhirnya memutuskan untuk menaikkan lagi suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 7%. 

Selain BI rate, Bank Sentral juga menaikkan suku bunga Fasbi sebesar 50 bps menjadi 5,25% dan menaikkan suku bunga Lending Facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 7%.  Keputusan itu dibuat dalam Rapat Dewan Gubernur Bulanan tambahan  yang digelar di Gedung Bank Indonesia pada Kamis (29/8/2013).

Menurut Direktur Eksekutif Direktorat Perencanaan Strategis dan Humas BI Difi Johansyah, rapat dadakan itu itu dilakukan untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kondisi makroekonomi, moneter, dan sistem keuangan, yang dalam beberapa waktu terakhir mengalami tekanan dengan intensitas yang semakin tinggi.

"Seiring dengan meningkatnya ketidakpastian ekonomi global serta masih tingginya ekspektasi inflasi dan persepsi terhadap kesinambungan transaksi berjalan," terang Difi.

Secara khusus, Dewan Gubernur Bank Indonesia mencermati beberapa perkembangan penting indikator ekonomi, moneter dan keuangan berikut ini:

1. Berlanjutnya ketidakpastian pengurangan bertahap (tapering) stimulus moneter oleh the Fed.

Ketidakpastian ini terus memberikan tekanan pada pasar keuangan di berbagai negara. Penarikan modal dan meningkatnya risiko investasi menyebabkan penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, dan pelemahan nilai tukar di hampir seluruh negara emerging market, tidak terkecuali Indonesia.

Tekanan yang tinggi pada pasar keuangan global ini terjadi di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dan kawasan Asia, termasuk China dan India, serta terus menurunnya harga komoditas primer, kecuali harga minyak. Kondisi ini telah memberikan tekanan pada kinerja perdagangan dan pasar keuangan Indonesia.


2. Tekanan pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih berlanjut, meskipun dengan intensitas yang mulai menurun.

Berdasarkan data sementara ekspor dan impor hingga Juli 2013, defisit transaksi berjalan yang pada triwulan II-2013 mencapai 4,4% PDB diperkirakan akan menurun menjadi 3,4% PDB pada triwulan III-2013.

Defisit terutama berasal dari neraca perdagangan migas, sehubungan dengan masih tingginya impor minyak untuk konsumsi dalam negeri. Di sisi neraca modal dan finansial, surplus diperkirakan berasal dari arus modal asing masuk dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan investasi portofolio, terutama pada Surat Berharga Negara (SBN), di tengah arus modal keluar investasi portfolio dari pasar saham. Kondisi ini diharapkan dapat mendukung perbaikan dalam keseimbangan NPI dan kestabilan cadangan devisa.

3. Inflasi IHK, diukur secara tahunan (year-on-year), diperkirakan masih akan tinggi.

Jika diukur secara bulanan (month-to-month), inflasi IHK pada Agustus ini akan jauh lebih rendah dari Juli yang lalu, dan diperkirakan akan mulai kembali pada pola normalnya mulai September yang akan datang.

Secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan realisasi sampai dengan Juli dan perkiraan bulan-bulan yang akan datang, Bank Indonesia memperkirakan inflasi IHK pada akhir 2013 akan berkisar 9,0%-9,8%. Tingginya inflasi terutama berasal dari volatile foods dan administered prices, sementara inflasi inti masih relatif terkendali.

4. Tekanan pelemahan nilai tukar rupiah masih berlanjut.

Pelemahan tersebut baik karena tekanan pasar keuangan global sebagaimana terjadi pada hampir semua negara emerging markets, maupun karena faktor domestik terutama terkait dengan tingginya defisit transaksi berjalan dan inflasi.

Pada 28 Agustus 2013, rupiah ditutup pada Rp 10.945 per dolar AS, atau terdepresiasi sebesar 11,9% secara point-to-point dari posisi akhir Desember 2012. Bank Indonesia menilai tingkat nilai tukar rupiah dewasa ini mencerminkan kondisi fundamental serta mendukung peningkatan ekspor dan penurunan impor dalam proses penyesuaian defisit transaksi berjalan.

Namun demikian, ketidakpastian perkembangan Rupiah masih relatif tinggi, tercermin pada tingginya volatilitas dan lebarnya kisaran perdagangan, antara lain karena reaksi pelaku pasar yang cenderung berlebihan (overshooting).


5. Aktivitas perekonomian menunjukkan indikasi perlambatan sebagai dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.

Sampai dengan semester I-2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,9%, menurun dari kinerja 2012 yang mencapai 6,2%. Kecenderungan perlambatan ekonomi diprakirakan masih berlangsung pada semester II-2013, terutama pada investasi non-bangunan dan konsumsi swasta. Secara keseluruhan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2013 akan menuju batas bawah kisaran prakiraan 5,8% - 6,2%.

6.  Kondisi likuiditas baik di pasar uang maupun pada perbankan tetap terjaga.

Perkembangan suku bunga PUAB overnight relatif stabil pada sekitar 4,8% dan tidak tercatat peningkatan yang signifikan pada volume transaksi pinjam-meminjam di pasar uang. Terjaganya kondisi likuiditas perbankan tercermin pada rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga yang tetap terjaga. Ketahanan perbankan tetap kuat, antara lain tercermin dari tingginya rasio permodalan dan tetap rendahnya non performing loan (NPL).

Sementara itu, pertumbuhan kredit perbankan masih dalam tren menurun menjadi 19,6% (yoy) pada pertengahan Agustus 2013, mengikuti perlambatan aktivitas perekonomian di dalam negeri. Di pasar modal, kenaikan yield SBN didorong kenaikan ekspektasi inflasi dan suku bunga internasional, sementara harga saham tercatat kembali meningkat pada perdagangan 28 Agustus 2013 setelah menurun tajam dari posisi Desember 2012 akibat dampak global.  (Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya