RI Diserbu Gempuran Ponsel Impor

Kementerian Keuangan melaporkan telepon seluler alias ponsel tercatat menyumbang impor terbesar ke-5, setelah minyak mentah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 09 Sep 2013, 10:30 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2013, 10:30 WIB
pabrik-ponsel-130710c.jpg
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan telepon seluler alias ponsel tercatat menyumbang impor terbesar nomor lima setelah minyak mentah. Kondisi tersebut merupakan salah satu yang mendasari pemerintah akhirnya mengenakan Pajak Penghasilan Atas Barang Mewah (PPnBM) bagi smartphone.

Menurut Kepala Pelaksana Tugas Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, telepon seluler termasuk dalam kombinasi kategori barang modal dan konsumtif sehingga ikut berkontribusi terhadap defisit neraca transaksi berjalan (current account).

"Impor telephone for cellular network menempati posisi nomor lima setelah bensin yang berada di urutan pertama dan minyak mentah penyumbang impor terbesar kedua," ungkap dia di Jakarta, seperti ditulis Senin (9/9/2013).

Dari data Kemenkeu, impor telepon seluler sampai dengan Juni 2013 mencapai US$ 1,2 miliar atau turun dibanding periode yang sama 2012 sebesar US$ 1,3 miliar. Sedangkan pada tahun lalu, nilai impornya menembus US$ 2,6 miliar.

Lebih jauh Bambang menjelaskan, salah satu alasan kebijakan pengenaan PPnBM pada smartphone bertujuan untuk mengurangi atau mencegah penyelundupan.

"Yang tidak selundupan atau legal saja sudah miliaran dolar AS, apalagi yang selundupan. Kalau lebih besar lagi nilainya, pasti akan lebih menakutkan. Meski data barang impor selundupan tidak tercatat, tapi tetap harus dibeli dengan dolar, jadi akan ada rupiah yang ditukar dolar," terang dia.

Namun demikian, Bambang menilai, pemerintah tidak serta merta menghantam smartphone dengan pajak barang mewah yang lebih tinggi.
"Makanya kami melihat aspek teknologi dan harga. Jadi (pajak) tidak akan sebesar mobil mewah. Pastinya tarif yang dikenakan sangat bersaing," ujarnya.

Bambang berharap, aturan PPnBM berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) dapat segera terbit. "Saya sih maunya cepat. Tapi kan kalau bentuknya PP harus dikoordinasikan dengan Kementerian lain," tandas dia.  (Fik/Ndw)

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya