Bouraq Air, Maskapai Legenda yang Kandas Setelah 35 Tahun

Pernah menjadi maskapai paling tepat waktu dan mempekerjakan pilot perempuan, Bouraq tak mampu melawan pesaing barunya.

oleh Syahid Latif diperbarui 03 Okt 2013, 19:43 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2013, 19:43 WIB
bouraq-air-131003b.jpg

Pemilik agen perjalanan, pengusaha, bahkan hingga anggota keluarga Cendana pernah mencoba peruntungan di bisnis penerbangan. Sayang nasib berkata lain. Para petualang bisnis ini tak mampu mempertahankan perusahaan yang telah dibangun dengan susah payah.

Berikut artikel keempat kami yang akan mengupas nasib maskapai berusia 35 tahun Bouraq Airlines yang merupakan bagian dari artikel berseri berjudul Maskapai yang Gulung Tikar sepekan ini:

Legenda di antara maskapai yang Sudah Mati

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat disuguhi informasi pailitnya sejumlah maskapai penerbangan. Dengan usia perusahaan yang boleh dikatakan seumur jagung. Maskapai-maskapai yang muncul di era Reformasi seperti Adam Air (Baca: Adam Air Tutup dengan Penuh Misteri) dan Batavia Air tak bisa lagi melanjutkan bisnisnya hanya dalam hitungan beberapa tahun. (Baca: Batavia Air: Maskapai yang Tak Pernah Kecelakaan Tapi Jatuh Juga)

Dengan usia relatif lebih tua, Sempati air yang disokong keluarga Cendana, Hutomo Mandala Putra, juga tak mampu menahan beban berat yang membuatnya harus berhenti beroperasi. (Baca: Sempati Air, Matinya Maskapai Kontroversial dengan Segunung Utang)

Dari tiga maskapai tadi, Buoraq Airlines tampaknya memiliki cerita tersendiri jika dilihat dari faktor usianya. Malang melintang selama 35 tahun, Bouraq akhirnya harus mengakhiri kariernya di industri penerbangan. Nama Bouraq juga paling jadi legenda diantara maskapai yang sudah gulung tikar.

Pernah menjadi airlines swasta yang diperhitungkan dengan on-time performance penerbangan domestik terbaik, toh disaat akhir nasib berkata lain.

Lahir dari Putra Asli Manado

Bouraq Indonesia Airline atau lebih dikenal dengan sebutan Bouraq lahir pada 1970. Maskapai dengan warna khas hijau toska ini lahir dari kegigihan seorang pengusaha yang sama sekali tak berkecimpung di industri penerbangan. Jerri A Sumendap, putra asli Manado dan menghabiskan waktunya dengan berbisnis kayu adalah pria di balik lahirnya Bouraq.

Bouraq lahir dari keprihatinan minimnya sarana perhubungan dan transportasi di Pulau Kalimantan sekitar akhir 1960-an. Tak ada satupun penerbangan yang bersedia mendaratkan armadanya di pulau yang sebetulnya kaya akan sumber daya minyak dan hasil alam.

Pada April 1969, dimulailah proyek besar untuk mendirikan maskapai dengan cita-cita menghubungkan Kalimantan dengan pulau-pulau lain di tanah air. Bermodal tiga unit DC-3, Sumendap akhirnya memulai meniti bisnisnya di industri penerbangan. 1 April 1970 menjadi tonggak awal bagi Sumendap karena pertama kalinya mendaratkan pesawat di lapangan rumput di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Nama Bouraq sendirii diambil dari `kendaraan`  Nabi Muhammad SAW saat peristiwa suci dalam Islam, Isra Mi'raj. Dengan pengambilan nama itu pula, Sumendap berharap maskapainya bisa menjadi yang tercepat baik dari segi perkembangan usaha maupun ketepatan waktu.

Bisnis Kayu Justru Ambruk

Sumendap pada awalnya hanya berniat mendirikan maskapai penerbangan tak berjadwal atau penerbangan carter untuk memudahkan arus karyawan yang juga dimilikinya lewat PT Pordisa. Perusahaan kayu miliknya memang memiliki kebutuhan mengangkut pekerjanya ke kawasan pedalaman Kalimantan.

Seiring berjalannya waktu, bisnis penerbangan Bouraq makin mengepakkan sayapnya. Nasib berbeda justru dialami perusahaan yang semula dikelola Sumendap, PT Pordisa. Perusahaan kayu ini terpaksa berhenti beroperasi dan gulung tikar.

Kepak sayap Bouraq  semakin membesar ditandai dengan langkah perusahaan yang mendirikan anak perusahaan Bali Air tahun 1972. Perusahaan barunya ini khusus dioperasikan untuk melayani rute penerbangan berjadwal yang mulai dirambah dalam beberapa tahun ke depan. Selain Bali Air, Bouraq juga melahirkan anak perusahaan Bouraq Natour yang bergerak di bidang konstruksi.

Perusahaan barunya ini yang kemudian membantu pembangunan landasan Bandar Udara (Bandara) Sam Ratulangi, Manado pada 1976. Lebih jauh, perusahaan juga ikut membangun pelaksanaan overlay dan paving landasan Bandara Ngurah Rai, Bali untuk pesawat berbeda lebar setahun kemudian.

Penerbangan Paling Tepat Waktu

Sekitar satu dekade merambah bisnis penerbangan, Bouraq makin menghiasi langit Indonesia. Bisnis perusahaan makin melaju selama dasawarsa 1980-an.

Ditunjang empat pesawat Vicker Viscount (VC-843), tiga buah Casa NC-212 dan 16 enambelas BAE-748 seri 2A dan 2B, membuat mesin Bouraq makin meraung keras. Maskapai Bouraq pun mempersenjatai Bali Air dengan dua buah Britten Norman (BN) Islander dan empat buah Britten Norman (BN) Trislander untuk jarak pendek atau penerbangan perintis.

Puncaknya pada 1990-an, Bouraq berhasil menyabet predikat sebagai perusahaan penerbangan swasta dengan on-time performance terbaik untuk penerbangan domestik. Gelar tersebut tentunya memicu suara-suara tak sedap dari para pesaingnya. Bouraq harus rela menerima cibiran sebagar perusahaan penerbangan yang mengandalkan armada tua berupa pesawat non-jet.

Pilot Perempuan

Tak mau menerima cibiran tersebut, Bouraq langsung menjawab nada negatif para pesaingnya dengan mendatangkan pesawat jet dari tipe Boeing B737-200 untuk meningkatkan kualitas pelayanan, peremajaan pesawat, dan memenuhi pertumbuhan bisnis yang tumbuh cukup signifikan.

Bermodalkan dana US$ 70 juta dollar, Bouraq menyewa tujuh unit B737-200 bekas pakai Malaysia Air System (MAS) yang rata-rata berusia 10 tahun. Kepak Bouraq pun makin lebar dengan dukungan armada sebanyak 30 unit.

Untuk mengoperasikan seluruh armada yang dimilikinya, 100 awak pilot/kopilot dioptimalkan Bouraq. Satu yang unik dari dan jarang terjadi dalam industri penerbangan nasional adalah Bouraq mempekerjakan penerbang perempuan yaitu Meriam Zanaria, Lokawati Nakagawa, dan Cipluk.

Pendiri Wafat, Bouraq Ikut Tenggelam

Tanggal 6 Juni 1995 menjadi awan kelam bagi seluruh personil Bouraq. Sang pendiri yang memiliki ide kecil untuk mengembangkan Kalimantan, Jerry Sumendap, wafat dalam usia 69 tahun. Bouraq pun memasuki babak baru dengan masuknya generasi penerus Danny Sumendap pada akhir 1995.

Bermodalkan tekad besar untuk mempertahankan eksistensi Bouraq, Danny membuat perombakan besar perusahaan demi bersaing dengan perkembangan zaman. Namun banyaknya loyalis dari Bouraq membuat keputusan drastis tersebut tak berjalan lancar sepenuhnya.

Seiring waktu, upaya pembenahan organisasi mampu menyelamatkan Bouraq dari ketatnya persaingan bisnis penerbangan. Namun rasa nyaman ini hanya bertahan sementara. Bouraq harus berhadapanan dengan persoalan yang jauh lebih besar, krisis moneter 1998.

Krisis keuangan yang melanda Asia dan berdampak pada Indonesia ini terbukti telah menghempaskan sejumlah maskapai penerbangan. Namun, Bouraq tak menyerah begitu saja. Berbagai strategi disusun untuk tetap mempertahankan keberlangsungan Bouraq. Efisiensi pun terpaksa ditempuh dengan mengurangi pesawat dan pilot/kopilot.

Dalam kondisi ini, Bouraq ibarat kapal karam yang menunggu waktu untuk tenggelam. Tekanan yang makin kuat, membuat pesawat Bouraq lama kelamaan makin menyusut. Kejayaan sebagai maskapai yang memiliki puluhan pesawat berakhir tragis jelang tutupnya Bouraq. Jelang akhir hayatnya, Bouraq hanya menyisakan sebuah pesawat Boeing B737-200.

Akhrinya, 25 Juli 2005 pesawat hijau Toska yang selama ini menghiasi langit nusantara tak tampak lagi. Bouraq yang beroperasi sekitar 35 tahun harus memberikan tempat pada beberapa pendatang baru. (Shd/Igw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya