Pemerintah masih tetap optimistis proses pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari perusahaan Jepang PT Nippon Asahan Aluminium (NAA) dapat selesai dalam waktu dekat.
"Sekarang negosiasinya sedang berlangsung, jadi ini perundingannya langsung di Singapura, saya di update tadi. Saya bisa menceritakan, tapi saya optimis bisa diselesaikan. Kalau berhasil langsung melakukan transaksi," ujar Menteri Perindustrian, MS Hidayat, di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Selasa (12/11/2013).
Menurut Hidayat, sebenarnya baik dari pihak Indonesia maupun Jepang sama-sama menginginkan agar proses akuisisi ini tidak melalui arbitrase. Namun dia mengatakan, pemerintah telah menyiapkan diri jika proses akuisisi ini harus diselesaikan dengan cara apapun.
"Makanya itu (arbitrase) jadi plan B, tiap perundingan internasional yang mengalami deadlock itu selalu ada klausul dibawa ke arbitrase yang memutuskan. Kami berdua (Indonesia dan Jepang) masih mau menghindari itu. Tetapi kedua-duanya (arbitrase atau tanpa arbitrase) kita siap," jelasnya.
Sementara itu, untuk nilai akuisisinya sendiri, Hidayat juga masih yakin bahwa tidak akan jauh dari angka yang diajukan oleh pemerintah yaitu sebesar US$ 558 juta. "Relatif enggak ada perubahan tapi kita tetap minta angka terakhir itu, angka yang tetap kita audit," kata Hidayat.
Seperti diketahui, keinginan untuk melakukan pengambilalihan saham Inalum dari PT NAA ke pemerintah Indonesia disebabkan oleh kerjasama yang terjalin selama ini merugikan pemerintah.
Mantan Menteri Keuangan yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardoyo, pemerintah telah mengalami kerugian selama 22 tahun sejak proyek kerjasama pengolahan aluminium itu berlangsung sejak 30 tahun lalu.
PT NAA sendiri memegang saham perusahaan tersebut sekitar 59%, sedangkan pemerintah Indonesia sebesar 41%. Jika proses akuisisi berhasil, maka keseluruhan saham Inalum akan menjadi milik Indonesia. (Dny/Ahm)
"Sekarang negosiasinya sedang berlangsung, jadi ini perundingannya langsung di Singapura, saya di update tadi. Saya bisa menceritakan, tapi saya optimis bisa diselesaikan. Kalau berhasil langsung melakukan transaksi," ujar Menteri Perindustrian, MS Hidayat, di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Selasa (12/11/2013).
Menurut Hidayat, sebenarnya baik dari pihak Indonesia maupun Jepang sama-sama menginginkan agar proses akuisisi ini tidak melalui arbitrase. Namun dia mengatakan, pemerintah telah menyiapkan diri jika proses akuisisi ini harus diselesaikan dengan cara apapun.
"Makanya itu (arbitrase) jadi plan B, tiap perundingan internasional yang mengalami deadlock itu selalu ada klausul dibawa ke arbitrase yang memutuskan. Kami berdua (Indonesia dan Jepang) masih mau menghindari itu. Tetapi kedua-duanya (arbitrase atau tanpa arbitrase) kita siap," jelasnya.
Sementara itu, untuk nilai akuisisinya sendiri, Hidayat juga masih yakin bahwa tidak akan jauh dari angka yang diajukan oleh pemerintah yaitu sebesar US$ 558 juta. "Relatif enggak ada perubahan tapi kita tetap minta angka terakhir itu, angka yang tetap kita audit," kata Hidayat.
Seperti diketahui, keinginan untuk melakukan pengambilalihan saham Inalum dari PT NAA ke pemerintah Indonesia disebabkan oleh kerjasama yang terjalin selama ini merugikan pemerintah.
Mantan Menteri Keuangan yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardoyo, pemerintah telah mengalami kerugian selama 22 tahun sejak proyek kerjasama pengolahan aluminium itu berlangsung sejak 30 tahun lalu.
PT NAA sendiri memegang saham perusahaan tersebut sekitar 59%, sedangkan pemerintah Indonesia sebesar 41%. Jika proses akuisisi berhasil, maka keseluruhan saham Inalum akan menjadi milik Indonesia. (Dny/Ahm)