Pasar Lebih Khawatirkan Rupiah Ketimbang Tapering The Fed?

Rupiah masih mengalami tekanan terhadap dolar AS dinilai lebih mengkhawatirkan dibandingkan rencana penarikan dana stimulus moneter AS.

oleh Agustina Melani diperbarui 15 Des 2013, 09:40 WIB
Diterbitkan 15 Des 2013, 09:40 WIB
rupiah-dollar-131204b.jpg
Nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini. Pelaku pasar dinilai lebih mengkhawatirkan tekanan rupiah ketimbang rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserce untuk menarik dana stimulusnya.

Berdasarkan data Bloomberg, Rupiah telah melemah 1,3% dari 6 Desember 2013 ke level 12.118 per dolar AS pada pukul 4.13 pada Jumat pekan lalu. Angka itu level rendah sejak Oktober 2013, sehingga rupiah telah melemah 7 persen.

Analis PT Recapital Securities, Agustini Hamid menilai, pelaku pasar lebih mengkhawatirkan nilai tukar rupiah makin melemah ketimbang rencana bank sentral AS, (The Federal Reserve) untuk mengurangi stimulus moneternya (tapering).

"Rupiah sempat mencapai level 12 ribu, dan itu juga menjadi suatu kekhawatiran pasar karena mereka melihat krisis tahun 1998, bermulanya krisis di Indonesia karena depresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah," ujar Agustini, saat ditemui Liputan6.com, akhir pekan ini.

Agustini menuturkan, rupiah masih mengalami tekanan ini karena faktor musiman. Hal itu didorong dari perusahaan membutuhkan dolar AS untuk membayar utangnya pada akhir tahun. Selain itu, Pertamina membutuhkan dana sekitar US$ 150 juta untuk melakukan impor bahan bakar minyak (BBM).

"Pertamina butuh US$ 150 juta untuk impor BBM, ditambah juga PLN dan perusahaan swasta membutuhkan dolar jadi permintaan makin besar. Rupiah akan cenderung melemah hingga akhir tahun," kata Agustini.

Menurut Agustini, pelemahan rupiah dan defisit neraca perdagangan besar tak lepas dari efek pemerintah lambat menaikkan harga BBM.

"Tahun 2012 seharusnya pemerintah menaikkan BBM. Sementara itu harga ekspor komoditas melemah jadi tidak menolong neraca perdagangan," kata Agustini.

Ia memperkirakan, defisit neraca perdagangan masih akan tetap besar hingga tahun depan. Oleh karena itu, ada kemungkinan pemerintah akan kembali menaikkan harga BBM pada 2015.

Selain itu, Agustini menambahkan, memang pelaku pasar mengantisipasi pertemuan bank sentral AS pada 17-18 Desember 2013. Kekhawatiran pelaku pasar terhadap tapering berimbas ke pergerakan indeks saham. Meski demikian, rupiah masih melemah juga menjadi perhatian pelaku pasar.

Sementara itu, berdasarkan laporan Citibank, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan/BI Rate di kisaran 7,5% memang tak membuat rupiah bergerak positif. Dalam pandangan Citibank, keputusan BI ini telah berubah dalam membuat kebijakan. Bila sebelumnya nilai tukar dipandang lebih objektif dari pada kebijakan instrumen.

'Pelemahan rupiah menjadi pemicu kenaikan suku bunga. Akan tetapi sebaliknya tujuan BI adalah sekarang lebih fokus pada pengurangan defisit current account," tulis laporan Citibank. (Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya