[KOLOM] Ambisi Tidak Terkalahkan, Biarkan Paris Bermimpi!

PSG mengusung mimpi tak terkalahkan musim ini di Ligue 1. Bisakah mereka mewujudkannya? Simak ulasan di kolom bola Asep Ginanjar.

oleh Liputan6 diperbarui 13 Nov 2015, 08:26 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2015, 08:26 WIB
Kolom Bola
Kolom Bola Asep Ginanjar (grafis: Abdillah/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta: Pada dasarnya, setiap orang memiliki potensi untuk menjadi besar. Maka dari itu, jangan remehkan kekuatan mimpi dan semangat untuk meraih kebesaran. Wilma Rudolph, wanita tercepat di lintasan sprint pada 1960-an, sangat meyakini hal tersebut. Itu pula yang menjadi resep kesuksesannya merebut medali emas 100 m, 200 m, dan estafet 4x100 m di Olimpiade 1960.

Soal mimpi ini, Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi antara lain menyebut, berhenti bermimpi adalah tragedi dan para pemimpi adalah pemberani. Sementara itu, Eleanor Roosevelt, eks first lady Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa para pemimpilah yang akan menguasai dunia. “Masa depan adalah milik orang-orang yang meyakini keindahan mimpi-mimpinya,” kata dia.

Maka tak perlu mencibir apalagi mencaci orang yang memiliki impian besar. Tak terkecuali ketika mimpi itu dirajut oleh Paris Saint-Germain. Jangan buru-buru mencela hanya karena kadung menganggap PSG sebagai klub karbitan, besar semata-mata berkat kucuran uang dari sang pemilik. Sebagai klub asal Kota Paris, PSG sangat sah untuk terus merajut pelbagai mimpi besar nan indah. Bukankah dalam film Ratatouille disebutkan bahwa tak ada tempat yang lebih baik dari Paris untuk bermimpi?

Musim ini, impian besar PSG adalah menjalani musim tanpa kekalahan. Usai kemenangan 5-0 atas Toulouse pada Sabtu (7/11/2015), impian besar itu dilontarkan secara terbuka.

“Kami bisa membuat sejarah dengan tak mengalami sekali pun kekalahan. Itulah target kami!” seru Lucas Moura dan kapten Thiago Silva. Blaise Matuidi menambahkan, “Jika memang mampu, kenapa kami harus mengabaikannya?”

Gelandang PSG, Lucas Moura berusaha lepas dari hadangan pemain Toulouse pada laga Liga Prancis di Stadion Parc des Princes, Prancis, Sabtu (7/11/2015). (AFP Photo/Thomas Samson)

Ucapan para penggawa Les Parisiens itu terkesan pongah. Hingga saat ini, belum ada klub yang mampu menjalani musim tanpa kekalahan di Ligue 1. Namun, mengumbar ambisi seperti itu juga bukan hal tabu.

Bukankah banyak hal besar justru berawal dari sebuah mimpi atau angan-angan? Tengok saja Arsene Wenger yang membawa Arsenal unbeaten di Premier League pada 2003-04. Dia ternyata sudah lama mendambakan hal itu.

“Meskipun bukan ambisi yang normal, menjalani musim tanpa kekalahan selalu menjadi impian saya,” kata The Professor. “Hal itu istimewa karena melecut saya untuk mencapai kesempurnaan. Saya selalu ingin mengerjakan tugas sebaik yang saya bisa.”

Nicolas Ouédec, eks striker PSG yang hampir membuat rekor unbeaten saat menangani FC Nantes pada 1994-95, tak menilai Matuidi cs. sombong. “Di dunia elite olahraga, menunjukkan kekuatan dan keyakinan bukanlah sebuah kesombongan,” tutur dia.

TANTANGAN BARU

Ouédec benar. Ambisi besar justru penting dalam mengarungi musim baru. Setiap musim, harus ada tantangan baru untuk ditaklukkan. Bagi PSG yang musim lalu mencetak sejarah dengan merengkuh semua trofi domestik —Ligue 1, Coupe de France, Coupe de la Ligue, dan Thopheé des Champions, tantangan baru itu adalah membuat sejarah lainnya. Salah satunya juara tanpa mengalami kekalahan.

Ambisi besar itu pun penting demi mewujudkan misi yang dicanangkan Sheik Tamim bin Hamad Al Thani dan konsorsiumnya saat datang ke Paris guna mengambil alih PSG pada Juni 2011. “Tujuan jangka panjang kami adalah menjadikan PSG sebagai salah satu klub terbesar di dunia,” tutur Nasser Al Khelaifi, tangan kanan Sheik Tamim yang dipercaya menjadi presiden klub.

“Paris adalah kota besar. Sudah sepantasnya bila Paris memiliki sebuah klub besar dunia. Itulah yang membawa kami ke sini dan membeli PSG.”

Untuk masuk ke jajaran klub terbesar dunia, PSG pantang berpuas diri meski di Ligue 1 tak tertandingi dalam tiga musim terakhir. Mereka harus seperti Manchester United. Red Devils menjadi kekuatan besar dan mampu mendominasi Premier League karena kemampuan Sir Alex Ferguson dalam memelihara ambisi dan semangat para pemainnya.

Laurent Blanc optimistis membawa PSG meraih kemenangan melawan Real Madrid pada laga lanjutan Grup A Liga Champions. (uefa.com)

Setiap memasuki musim baru, Sir Alex selalu mengecek motivasi seluruh pemain. Dia memanggil mereka satu per satu dan menatap dalam-dalam ke mata sang pemain. Ketika melihat ambisi yang redup atau fokus yang tak lagi ke sepak bola, Sir Alex tak ragu untuk melepas sang pemain.

Pada 1997, Sir Alex mengizinkan Eric Cantona pensiun karena berbulan-bulan sebelumnya sudah melihat kebosanan di mata sang pemain. Lalu, pada 2003, karena melihat keinginan menjadi selebriti kian besar dalam diri David Beckham, dia pun melepasnya ke Real Madrid.

Suatu ketika, Sir Alex bahkan memarahi Robbie Brady yang mendahulukan Cristiano Ronaldo dalam antrean saat hendak makan siang. Bagi Sir Alex, Brady menunjukkan sikap inferior yang tabu bagi seorang atlet.

“Saya ingin kamu berpikir bahwa kamu lebih baik dari dia!” tegas Sir Alex kepada Brady. “Saya ingin kamu yakin bisa mengambil tempatnya di tim. Saya tak ingin kamu minder terhadap dia. Jangan lakukan itu lagi!”

BUKAN KEMUSTAHILAN

Meski belum pernah terjadi di Ligue 1,  unbeaten selama semusim yang kini dibidik PSG bukanlah kemustahilan. Dalam beberapa musim terakhir, di bagian lain Eropa, sejumlah klub mampu melakukan hal itu. Pada 2011-12, Juventus merebut Scudetto tanpa mengalami kekalahan sepanjang 38 giornata. FC Porto bahkan dua kali melakukannya, pada musim 2010-11 dan 2012-13.

Les Parisiens pun memiliki modal besar. Saat ini, PSG bisa disebut tanpa pesaing. Kala mereka berhasil mendatangkan Angel Di Maria, Layvin Kurzawa, Serge Aurier, dan Kevin Trapp, para raksasa lain justru mengerdil.

AS Monaco yang dalam dua musim terakhir menjadi pesaing terberat PSG harus merelakan kepindahan Anthony Martial, Aymen Abdennour, Geoffrey Kondogbia, Kurzawa, dan Yannick Ferreira-Carrasco. Sementara itu, Olympique Marseille ditinggal Giannelli Imbula, Florian Thauvin, Dimitri Payet, Mario Lemina, Andre Ayew, dan Andre-Pierre Gignac.

Anthony Martial saat masih berkostum Monaco (AFP Photo/Valery Hache)

Kedigdayaan Les Parisiens terlihat nyata. Hingga pekan ke-13, dengan koleksi 35 poin, mereka unggul sepuluh angka dari Olympique Lyonnais yang menjadi pesaing terdekat. PSG juga tim tertajam dengan torehan 31 gol sekaligus tim terkuat dalam bertahan dengan baru kebobolan enam kali.

Jangan lupakan pula, Zlatan Ibrahimovic dkk. hingga saat ini tak terkalahkan dalam 22 laga beruntun di Ligue 1. Terakhir kali PSG kalah saat melawat ke kandang Girondins Bordeaux pada 15 Maret 2015 dengan skor 2-3. Kini, PSG hanya terpaut lima pertandingan untuk menyamai rekor 27 laga tanpa kekalahan yang dibuat pada 1993-94.

Meski begitu, hal terpenting bagi PSG adalah terus meyakini mimpi dan menunjukkan keyakinan itu di atas lapangan. “Saya ingat, (pada 1994-95) kami tak sesumbar. Kami berjalan secara bertahap. Mula-mula, kami ingin tak terkalahkan sampai November, lalu hingga Natal, dan seterusnya. Saya kira Paris juga harus melakukan hal serupa,” jelas Ouédec.

Lebih lanjut, pelatih yang akhirnya hanya mengantar Nantes tak terkalahkan dalam 32 laga tersebut mengingatkan, “Satu hal yang pasti, semua pemain harus kompak di lapangan dan berbicara dalam frekuensi yang sama. Jika yakin, peluang pasti ada.”

Jadi, bila akhir musim nanti PSG juara tanpa tersentuh kekalahan, janganlah menganggap itu semata-mata berkat gelontoran uang dari sang pemilik. Bagaimanapun, itu terjadi berkat dorongan mimpi yang mereka rajut sejak awal musim.

*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di tabloid soccer.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya