KOLOM: Memaknai Mimpi Besar Sepak Bola Tiongkok

Tiongkok sedang bermimpi besar menjadi yang terdepan di sepak bola dunia.

oleh Liputan6 diperbarui 13 Jan 2017, 08:00 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2017, 08:00 WIB
Asep Ginanjar
kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Tiongkok. Belakangan ini, sebagian orang Indonesia agak sensitif bila mendengar nama negeri di Asia Timur tersebut. Itu tak terlepas dari beberapa isu terkait Tiongkok akhir-akhir ini. Sebut saja kasus tenaga kerja ilegal asal Tiongkok, temuan cabai berbakteri yang ditanam warga negara Tiongkok, hingga kemungkinan invasi warga negara Tiongkok ke pulau-pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta bila proyek itu dilanjutkan.

Tiongkok bukan hanya jadi buah bibir di Indonesia. Secara global, negeri ini pun tengah menjadi sorotan publik sepak bola dunia. Tiongkok dibicarakan banyak orang karena gebrakan klub-klub Chinese Super League (CSL) membeli pemain-pemain bintang dengan harga dan gaji selangit pada bursa transfer awal tahun ini.

Januari ini, nama besar yang datang antara lain Axel Witsel, Oscar, Ricardo Carvalho, dan Carlos Tevez. Tak main-main, dalam waktu kurang dari setahun, lima kali rekor transfer Asia dipecahkan klub-klub asal Tiongkok. Cibiran datang dari banyak orang. Tiongkok hendak membeli prestasi. Itulah anggapan awam soal geliat klub-klub Tiongkok.

Mudah saja menuding ini dan itu. Seolah tak ada sisi baik dari langkah yang dibuat Negeri Tirai Bambu itu. Seakan-akan gebrakan mereka saat ini niscaya jadi kesia-siaan belaka dan hanya sensasi sesaat yang tak akan bermakna banyak.

Padahal, tak ada yang salah dari langkah Tiongkok. Ambisi menjadi kekuatan baru sepak bola dunia yang digaungkan Presiden Xi Jinping bukanlah sebuah dosa. Bukankah siapa pun harus punya mimpi besar untuk memiliki kehidupan yang baik dan prestasi gemilang? Tak sedikit orang-orang besar yang memulai langkahnya dengan impossible dream, impian yang bagi awam mustahil diwujudkan. Tak sedikit dari mereka yang dianggap gila karena ide yang out of the box.

Ramires saat ini tampil di Liga Primer Tiongkok (AFP)

Lagi pula, Tiongkok punya ikatan sejarah dengan sepak bola. Konon, cikal bakal permainan paling populer di seantero dunia ini adalah cuju atau tsu' chu yang berkembang pesat pada masa Dinasti Han. Sungguh ironis ketika sepak bola Tiongkok justru mejan, tak mampu berprestasi. Kehadiran mereka di Piala Dunia 2002 sangat terbantu oleh status Jepang dan Korea Selatan sebagai tuan rumah yang otomatis lolos.

Kiprah mereka di Korsel/Jepang 2002 pun memalukan. Bukan hanya tak mengumpulkan satu pun poin, mereka juga gagal mencetak gol. Tiongkok kalah 0-2 dari Kosta Rika, takluk 0-4 saat melawan Brasil, dan dikalahkan Turki 0-3. Padahal, Li Tie dkk. saat itu ditangani Bora Milutinovic yang biasanya sukses membawa tim semenjana ke fase gugur.

Di Asia, Tiongkok juga "nggak bunyi". Hanya dua kali mereka masuk final Piala Asia, yakni pada 1984 dan 2004. Itu pun, dalam dua kesempatan tersebut, trofi juara gagal diboyong. Tiongkok masih kalah kelas dari Korsel, Jepang, Arab Saudi, dan kini Australia.

Pelajaran Berharga

Carlos Tevez
Shanghai Shenhua mengkonfirmasi kedatangan Carlos Tevez

Ambisi Tiongkok di sepak bola adalah hal wajar dan seharusnya menjadi inspirasi bagi siapa saja. Tak terkecuali PSSI, induk organisasi sepak bola di Indonesia. Apalagi ambisi itu bukan hanya diwujudkan lewat permak wajah liga semata. Saat ini, yang terlihat mencolok memang pembelian bintang-bintang sepak bola oleh klub-klub CSL. Namun, itu bukan satu-satunya hal yang dilakukan Tiongkok.

Presiden Xi Jinping juga menaruh perhatian pada perkembangan sepak bola di akar rumput. Tak tanggung-tanggung, pemerintah berambisi membangun 20.000 sekolah berbasis sepak bola. Bukan hanya untuk mencetak pemain-pemain hebat, melainkan juga agar anak-anak negeri itu mau berolahraga sehingga terhindar dari obesitas. Itulah rencana besar yang diungkapkan Menteri Pendidikan Tiongkok pada 2014.

Itu bukan program di atas kertas semata. Tiongkok kini bahkan memiliki akademi sepak bola terbesar di dunia. Namanya Evergrande International Football School. Akademi yang dibangun dalam tempo 10 bulan oleh perusahaaan properti Evergrande ini memiliki 50 lapangan. Dana yang dikeluarkan pun tak tanggung-tanggung, 185 juta dollar AS.

Guangzhou Evergrande (TORU YAMANAKA / AFP)

Soal sepak bola akar rumput, gebrakan Tiongkok sudah terlihat pada 2013. Ketika itu, Chinese Football Association (CFA) merekrut Tom Byer untuk menjalankan program Chinese School Football (CSF) yang dibiayai oleh pemerintah. Byer, pria asal Amerika Serikat, sebelumnya dikenal sebagai sosok yang berjasa dalam pengembangan sepak bola usia dini di Jepang.

Terlepas dari hasil yang dicapai dari megaproyek tersebut kemudian hari, itu adalah sentilan kepada negara-negara yang memimpikan tampil di Piala Dunia namun tak berbuat apa-apa. Tiongkok seolah mengingatkan bahwa sebuah tekad harus diejawantahkan secara nyata dan tak boleh setengah hati. Tiongkok juga mengajarkan kepada kita bahwa mereka melakukan "revolusi sepak bola" secara menyeluruh, dari akar rumput hingga kompetisi tertinggi yang memang menjadi etalase utama.

Keseriusan seperti itulah yang sangat dinantikan publik sepak bola Indonesia dari PSSI dan pemerintah. Indonesia bukan hanya butuh liga yang kompetitif, melainkan juga klub-klub yang serius menelurkan pemain-pemain berkualitas, klub-klub yang punya perhatian besar terhadap sektor usia dini dan mau membangun akademi berkualitas. Indonesia juga butuh kompetisi berjenjang sesuai kelompok umur.


Gelandang asal Brasil, Oscar setibanya di Bandara Internasional Shanghai Pudong di Shanghai, Senin (2/1). Para penggemar menyambut kedatangan Oscar yang akhirnya setuju untuk bergabung bersama klub China Shanghai SIPG. (REUTERS/Aly Song)

Pengaturan umur yang antara lain membatasi keberadaan pemain gaek di dua divisi teratas kompetisi nasional yang akan datang adalah langkah positif. Secara tak langsung, itu akan menuntut klub-klub lebih memerhatikan talenta-talenta muda dan pembinaan usia dini. Patut ditunggu kapan PSSI akan menggelar kompetisi usia dini secara berjenjang dan berkesinambungan serta mewajibkan klub-klub memiliki akademi sebagai prasyarat mendapatkan lisensi.

Menatap 2026

Sepak bola Tiongkok zaman dulu dikenal dengan sebutan Cuju
Sepak bola Tiongkok zaman dulu dikenal dengan sebutan Cuju (paulchong.net)

Gebrakan Tiongkok seharusnya melecut Indonesia untuk melakukan akselerasi dalam pembenahan di semua sektor sepak bola. Apalagi pada Selasa (10/1/2017), FIFA memastikan Piala Dunia 2026 akan diikuti oleh 48 tim atau 50 persen lebih banyak dari yang berlaku sejak Piala Dunia 1998. Terlepas dari motif politik dan ekonomi di balik putusan itu, pertambahan jumlah peserta berarti membuka peluang lebih besar bagi Indonesia untuk tampil di Piala Dunia tanpa harus menjadi tuan rumah.

Piala Dunia 2026 memang masih cukup lama, sembilan tahun lagi. Tapi, tanpa langkah-langkah konkret dari sekarang, Piala Dunia tetap jauh panggang dari api. Bahkan, tanpa itu, sebanyak apa pun tambahan peserta, Piala Dunia tetap hanya mimpi yang tak terbeli.

Carlos Tevez ke Shanghai Senhua

Bila dibandingkan dengan Tiongkok, kondisi Indonesia sebetulnya lebih baik. Di negeri kita, masih banyak anak-anak yang menggandrungi sepak bola. Walaupun tak terawat dengan baik, budaya sepak bola masih ada di negeri ini. Kita hanya perlu memberikan fasilitas lebih baik sehingga budaya itu tumbuh dengan lebih baik pula.

Ini berbeda dengan Tiongkok. Megaproyek yang dicanangkan Presiden Xi Jinping sesungguhnya menghadapi tantangan berat. Ada kendala budaya yang mengadangnya. Secara spesifik, David Lingerak, sutradara film dokumenter tentang sepak bola Tiongkok, menyebut faktor penghambat utama adalah budaya individualisme sebagai akibat dari kebijakan satu anak yang diberlakukan pemerintah.

Menurut Lingerak, para orangtua cenderung mengarahkan anak-anaknya untuk memilih olahraga individual. Pertimbangannya, dalam olahraga indivudual, semua hal tergantung diri sendiri. Beda halnya dengan olahraga tim. "Jika Anda bagus dalam olahraga individual macam pingpong, semuanya tergantung Anda sendiri. Ada kans Anda menjadi sangat bagus dan meraih medali emas olimpiade. Tapi, jika bermain sepak bola, Anda hanya satu dari sebelas orang. Ini artinya masa depan Anda jauh lebih tak menentu."

Rombongan Presiden Joko Widodo diterima oleh Presiden Tiongkok Xi Jin-ping di Hangzhou, Tiongkok, Jumat (2/9). Kunjungan Jokowi untuk menghadiri KTT G20. (REUTERS / Minoru Iwasaki)

Kebijakan satu anak juga berpengaruh terhadap cara pandang orangtua terhadap anak. Mereka cenderung menekankan pendidikan akademis yang dinilai lebih pasti bagi masa depan anak. "Sekolah adalah monster menakutan di Tiongkok karena begitu membebani anak-anak," urai Trevor Lamb, eks pemain asal AS dan sekarang bergelut di sepak bola akar rumput Tiongkok.
"Anak-anak umur 10 tahun menghabiskan waktu tiga hingga empat jam untuk mengerjakan PR sekolah pada malam hari. Itu luar biasa dan membuat mereka tak punya waktu untuk menekuni olahraga, termasuk sepak bola."

Hal ini diakui Byer. Menurut dia, hal paling mendasar memang mengubah cara pandang orangtua. "Mereka harus mengerti bahwa sepak bola tidak mengganggu sekolah. Penelitian justru menunjukkan, sepak bola dan olahraga pada umumnya bagus bagi anak-anak pada usia dini dan membantu mereka sukses secara akademis," jelas dia.

Pandangan serupa sebetulnya juga menghinggapi banyak orangtua di Indonesia. Olahraga bukanlah hal yang dipandang mampu menjamin masa depan dan hari tua. Namun begitu, setidaknya, budaya sepak bola di negeri ini belumlah mati. Masih cukup banyak anak-anak yang bermimpi menjadi pesepak bola. Ini adalah modal bagi Indonesia. Modal yang harus dikelola dengan baik dan benar sehingga hadir di Piala Dunia tak hanya jadi impian kekal nan tak tergapai.

*Penulis adalah pengamat dan komentator sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya