Liputan6.com, Jakarta - Tidak ada yang lebih menyedihkan di sepak bola selain degradasi. Seolah-olah finis di papan bawah tidak cukup memalukan, karena klub harus rela turun kasta ke kompetisi strata kedua.
Baca Juga
Hingga memasuki pekan ke-36, pertarungan degradasi di Liga Inggris bisa dibilang tak kalah sengit dengan perebutan juara. Sebab, baru ada satu tim yang sudah memastikan untuk turun kelas ke Divisi Championship musim depan, yaitu Sunderland.
Ada empat tim lain yang masih berjuang lolos dari jurang maut. Mereka adalah Middlesbrough, Hull City, Swansea City, dan Crystal Palace.
Setiap berita tim degradasi, tentu ada hal yang sangat disayangkan, yakni para pemain bintangnya. Mereka dianggap tak pantas untuk bermain di kompetisi kasta kedua melihat kualitasnya.
Siapa saja mereka? Berikut daftarnya dikutip dari Sportskeeda:
Advertisement
Jermain Defoe: Sunderland (2016/17)
Tahun terbaik Jermain Defoe mungkin berada di Tottenham Hotspur saat mencetak 91 gol. Entah sebagai pemain muda atau veteran, striker Inggris itu bikin penonton terkesima setiap mencetak gol.
Ketika terlihat seperti sedang memasuki masa pensiun dini setelah pindah ke klub Major League Soccer, Toronto FC, dia menyadari masih memiliki beberapa tahun yang bagus dalam dirinya dan kembali ke Inggris untuk menandatangani kontrak dengan Sunderland.
The Black Cats sendiri menghindari degradasi setiap tahun, tapi berkat 15 gol Defoe musim lalu, membuat mereka bertahan setahun lagi. Namun, musim ini keberuntungan tak lagi menghinggapi. Pasukan David Moyes itu dipastikan akan terdegradasi untuk musim depan.
Defoe sendiri musim ini telah mencetak 14 gol dan bahkan mendapat panggilan ke timnas Inggris. Dia juga merupakan pemain yang sanggup mengemas 150 gol di Premier League. Ini adalah akhir yang menyedihkan dalam kariernya di Stadium of Light.
Advertisement
Charlie Austin: Queens Park Rangers (2014/15)
Queens Park Rangers (QPR) adalah salah satu tim yang memang acap mondar-mandi ke Liga Inggris. Antara 2010 dan 2016, tim asal London itu telah dipromosikan dua kali dan terdegradasi dua kali.
Skuat yang dikelola oleh Harry Redknapp (sampai Februari) dan kemudian (Chris Ramsey) sebenarnya punya satu sosok bintang, yakni Charlie Austin. Bersama QPR, ia mencetak 18 gol di liga musim itu atau lebih dari 40 persen dari total tim.
Ini adalah raihan keempat tertinggi di liga. Austin hanya kalah di belakang Sergio Aguero (26), Harry Kane (21) dan Diego Costa (20). Pencetak gol terbanyak berikutnya di klub itu adalah Leroy Fer dengan enam gol.
Austin sendiri menghabiskan setengah musim di Championship sebelum kembali ke Premier League di bursa transfer musim dingin lalu saat Southampton mendatangkannya.
Â
Juninho: Middlesbrough (1996/97)
Pada tahun 1995, seorang gelandang serang berusia 22 tahun jadi perhatian saat menandatangani kontrak dengan Middlesbrough. Osvaldo Giroldo Junior alias Juninho Paulista menjadi target sejumlah klub di seluruh Eropa dan Boro-lah yang sukses meyakinkannya.
Penggemar mencintainya, anak-anak memujanya dan para pakar mengoceh tentang dia. Dijuluki The Little Fella, dia berhasil mengukir masa indah di Inggris.
Pada musim pertamanya, ia berhasil mencetak dua gol. Tapi musim keduanya bersama klub yang melihatnya berkembang menjadi prospek besar bagi tim nasional Brasil. Dalam 36 pertandingan liga, ia mencetak 10 gol. Boro juga mencapai final Piala FA dan Piala Liga berkat eksploitasi Juninho.
Namun, Boro seperti sial di akhir musim. Hasil imbang pada hari terakhir musim tersebut bikin mereka terdegradasi. Sangat disayangkan memang, karena Juninho juga harus turun kasta kala itu.
Advertisement
Paolo Di Canio: West Ham (2002/03)
Ketika Paolo Di Canio menandatangani kontrak dengan West Ham pada bulan Januari 1999, bisa dibilang menjadi langkah yang sangat tepat. Namun, pada saat itu, dia menjalani larangan 11 pertandingan karena mendorong wasit ke tanah saat melawan Sheffield Wednesday.
Kendati begitu, perjudian Harry Redknapp bisa dibilang tepat. Dia dikenang tidak hanya untuk beberapa gol istimewanya, seperti tendangan voli melawan Wimbledon.
Tapi saat Glenn Roeder mengambil alih posisi sebagai manajer, Di Canio terjatuh bersamanya dan tidak bermain untuk tim utama lagi. Namun, ketika Roeder harus dibebaskan dari tugasnya karena tumor otak, Trevor Brooking memilih Di Canio dan dia kembali mencetak gol saat Hammers menghindari degradasi.
Striker Italia itu mencetak sembilan gol termasuk saat melawan Chelsea yang hampir menyelamatkan klub dari degradasi. Namun nasib apes menyelimuti West Ham di akhir musim. Mereka harus puas ada di dasar klasemen karena tanpa kemenangan dalam lima laga terakhir.
Hari terakhir musim itu, dia sebenarnya berhasil menyamakan kedudukan dalam hasil imbang 2-2 vs Birmingham, tapi jurang degradasi tetap tak bisa diubah. Alhasil, Di Canio dilepas dan gabung Charlton Athletic.
Mark Viduka: Leeds United (2003/04)
Ketika Leeds United menghabiskan 6 juta pounds untuk datangkan Mark Viduka, bisa dibilang mencuri perhatian. Sebab, dia diharapkan bisa membentuk trio menakutkan bersama Harry Kewell dan Michael Bridges.
Trio ini terbukti sukses. Penyerang Australia itu berhasil mencetak 17 gol di musim pertamanya saat The Whites berada di urutan keempat.
Penampilannya yang paling berkesan datang melawan Liverpool saat ia mencetak empat gol dalam kemenangan 4-3 di Elland Road. Viduka sangat penting bagi eksploitasi Leeds. Sebab, dia mencetak 22 gol di semua kompetisi secara dua musim beruntun.
Namun, klub tersebut terperosok dalam krisis keuangan dengan hutang sebesar 80 juta pounds dan itu merupakan awal dari akhir bagi klub di Liga Inggris. Pada musim 2003/04, Viduka mencetak gol penting di bulan-bulan terakhir untuk memberi kesempatan kepada klub.
Akan tetapi itu tidak cukup dan dalam pertandingan terakhirnya. Dia mencetak gol pembuka sebelum malah takluk 1-4 dari Bolton Wanderers. Hasilnya dikonfirmasi degradasi dan Viduka tidak pernah bermain untuk Leeds lagi. Dia dijual segera ke Middlesbrough karena masalah keuangan Leeds memburuk.
I. Eka Setiawan
Advertisement