Liputan6.com, Jakarta Islandia. Di sepak bola, negeri ini bukan siapa-siapa. Ketika nama ini disebut, bukan prestasi mentereng yang terbangkit di memori. Sangat mungkin, justru nama Eidur Gudjohnsen yang terlintas di kepala. Ya, mantan striker Chelsea dan Barcelona itu memang asal Islandia.
Bagi yang doyan melihat video-video lucu sepak bola di Youtube, Islandia mungkin tak mengingatkan kepada Gudjohnsen, tapi Stjarnan. Pada 2010, beredar video selebrasi unik yang dilakukan para pemain klub itu setelah mencetak gol. Dari menirukan orang memancing ikan, berdansa, hingga orang melahirkan. Sungguh kreatif dan mengundang tawa.
Advertisement
Baca Juga
Kini, tiba-tiba saja Islandia jadi kekuatan baru di Eropa dan dunia. Selasa (10/10/2017), tim asuhan Heimir Hallgrimsson membuat sejarah dengan lolos ke Piala Dunia untuk kali pertama sepanjang sejarah.
Bukan lolos begitu saja. Aron Gunnarsson dkk. meraih tiket ke Rusia 2018 dengan menjuarai Grup I Kualifikasi Zona Eropa. Mereka menyingkirkan Ukraina, Turki, Finlandia, Kosovo, dan membuat Kroasia harus menjalani play-off.
Memang benar, Islandia beruntung karena hanya tergabung bersama tim-tim yang tak menyandang nama besar. Namun, patut dicatat, Grup I adalah satu-satunya grup yang dihuni empat partisipan Piala Eropa 2016. Jadi, ya tetap saja prestasi Gunnarsson cs. tak bisa dipandang sebelah mata.
Keberhasilan itu juga menegaskan bahwa kelolosan mereka ke EURO 2016 lalu bukanlah sebuah kebetulan bin keberuntungan semata. Kemenangan atas Inggris di sana pun bukanlah sebuah kejutan sesaat. Apalagi, sebenarnya mereka hampir saja lolos ke Piala Dunia 2014 andai tak disingkirkan Kroasia pada babak play-off.
Geliat Islandia dalam beberapa tahun terakhir ini adalah bukti tentang ujar-ujar "Jika ada kemauan, pasti ada jalan. Jika ada keberanian, pasti ada perubahan. Jika ada perubahan, pasti ada harapan."
Dua Kunci
Islandia tidak begitu saja muncul menjadi kekuatan baru. Itu adalah buah dari sebuah proses yang lumayan panjang. Proses yang diawali oleh dua hal fundamental: kesadaran dan kesungguhan.
Islandia sesungguhnya tak sepi pemain bagus. Ada cukup banyak pemain asal negeri itu yang sanggup berkiprah di liga-liga besar Eropa. Selain Gudjohnsen, ada juga Asgeir Sigurvinsson, Hermann Hreidarsson, Heidar Helgusson dan Eyjolfur Sverisson. Namun, sebagai tim, mereka seperti tak bisa ke mana-mana.
Dari situlah tumbuh kesadaran untuk memperbaiki diri, mengidentifikasi kelemahan yang ada dan menemukan solusinya. Asosiasi Sepak Bola Islandia (KSI) menyadari, salah satu hal mendasar adalah fakta bahwa sepak bola tak bisa dimainkan sepanjang tahun.
Kompetisi liga hanya berlangsung dari Mei hingga September. Sisanya, bulan-bulan musim dingin dengan angin tak bersahabat menjadi masa pramusim. Sebagai solusi, mereka membangun lapangan-lapangan indoor yang memungkinkan sepak bola dimainkan kapan saja. Kini, Islandia punya tujuh hall dengan lapangan standar dan 12 hall berukuran lebih kecil.
Menariknya, seperti dituturkan Sigurdur Ragnar Eyjolfsson, mantan Direktur Teknik KSI, fasilitas yang dibangun oleh pemerintah ini bisa dipakai oleh siapa saja. Kepada klub-klub yang meminjam fasilitas itu, pemerintah kota yang bersangkutan akan meminta lapangan untuk dapat dipakai warga ketika tidak digunakan oleh klub.
Hal lain yang tak kalah penting, Islandia serius mengubah paradigma pembinaan pemain muda. Mereka fokus pada umur 8-12 tahun yang dianggap sebagai masa terbaik untuk mengasah teknik. Anak-anak pada usia ini diberi kesempatan luas untuk mengeksplorasi potensi yang dimiliki.
Anak-anak itu pun tak didampingi oleh pelatih sembarangan. KSI menyadari bahwa sedari kecil, talenta-talenta muda harus berada di tangan pelatih mumpuni. Itu sebabnya, mereka mendorong para pelatih untuk menjalani pelatihan dan pendidikan. Saat ini, dari semua pelatih kepala yang ada, sebanyak 70 persen memegang lisensi UEFA B dan sisanya UEFA A.
Mereka tahu betul bahwa talenta yang bagus tak akan berkembang baik di tangan pelatih abal-abal. Sebaliknya, pelatih yang bagus bisa membuat pemain biasa-biasa saja menemukan keistimewaannya.
Advertisement
Tidak Instan
Hal yang patut digarisbawahi, kesadaran dan kesungguhan yang ditunjukkan Islandia tak serta-merta membuat mereka langsung luar biasa. Tidak ada tongkat ajaib dan mantera sim salabim. Mereka memulai proses pada 2002. Artinya, perlu 14 tahun untuk lolos ke Piala Eropa untuk kali pertama.
Dalam proses itu, memang ada sosok bernama Lars Lagerback. Namun, pelatih asal Swedia itu bukanlah si tukang sulap. Dia hanyalah katalisator, bukan sosok yang dianggap midas dan dibebani target juara. Lagerback pun jadi sosok yang membangkitkan kesadaran terhadap hal-hal lain, terutama di timnas senior.
Saat datang, Lagerback dengan lantang mengatakan, Islandia sudah tertinggal sangat jauh dari negara-negara lain. Dia lantas menata beberapa hal mendasar. Dia meningkatkan perhatian pada kebugaran pemain. Caranya dengan menambah jumlah fisioterapis dan masseur, juga menambahkan dokter yang sarat pengalaman ke dalam tim.
Di samping itu, mantan pelatih timnas Swedia tersebut juga menekankan kesadaran terhadap taktik dan strategi. Bersama dia, modernisasi terjadi. Setiap latihan direkam dengan kamera-kamera yang menangkap setiap pergerakan di lapangan. Itu menjadi dasar bagi dia dalam melakukan evaluasi teehadap para pemain dan tim secara keseluruhan.
Lagerback bisa dikatakan berhasil. Pasalnya, Sigurdsson cs. justru melaju ke Piala Dunia 2018 saat tak lagi ditanganinya. Seperti kata Jose Mourinho, pelatih yang sukses sebetulnya adalah pelatih yang membuat tim yang ditinggalkannya justru menjadi lebih baik.
Gebrakan Islandia kiranya haruslah membangkitkan kesadaran dan kesungguhan segenap stakeholder sepak bola Indonesia. Terutama, tentu saja PSSI selaku otoritas tertinggi sepak bola di negeri ini. Tak bisa disangkal, kesadaran dan kesungguhan dalam membenahi persepakbolaan negeri ini masih samar-samar belaka.
Padahal, geliat timnas junior di beberapa ajang belakangan ini membuktikan bahwa kita tidak kekurangan bakat-bakat oke. Indonesia bisa seperti Islandia, bahkan mungkin lebih baik, andai semua stakeholder menunjukkan kesadaran dan kesungguhan penuh seperti yang terjadi do Islandia.
Semoga saja kesadaran dan kesungguhan itu segera tumbuh sehingga kita bisa dengan lantang berteriak, "Indonesia juara!"
*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz dan @defrisaeful.