Bola Ganjil: Ketika Masyarakat Paris Mendukung Kuda Hitam

Paris identik dengan kemewahan. Namun, masyarakat ibu kota Prancis itu juga pernah mendukung klub kuda hitam. Simak kisahnya.

oleh Harley Ikhsan diperbarui 29 Jan 2021, 00:30 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2021, 00:30 WIB
Teror Pasukan Real Madrid, Pendukung PSG Bikin Stadion Merah Membara
Pendukung Paris Saint-Germain menyalakan suar saat PSG melawan Real Madrid di pertandingan Liga Champions leg kedua di stadion Parc des Princes di Paris (6/3). Mereka juga menyanyikan lagu bernada cemoohan kepada Real Madrid. (AP Photo / Francois Mori)

Liputan6.com, Jakarta - Sekitar lima dekade lalu, Paris bukanlah kota sepak bola. Jauh sebelum Paris Saint-Germain berdiri dan kemudian mendapat sokongan pemilik kaya dari Qatar, masyarakat setempat acuh tidak acuh terhadap cabang olahraga terpopuler di dunia tersebut.

Padahal Paris merupakan kota kelahiran sepak bola Prancis, ketika segelintir pendatang dari Inggris mendirikan klub pertama pada 1863.

Nyatanya penduduk setempat lebih menyukai turnamen persahabatan bertabur bintang atau final perebutan trofi ketimbang pertandingan reguler kompetisi yang digelar setiap pekan.

Salah satu klub asal Paris, Racing Club, mendapat perlakuan ini. Ketika mereka terlibat perebutan titel pada awal 1960-an, sekitar 20 ribu orang datang ke stadion. Namun, ketika performa tim menurun, jumlah suporter menurun hingga seperempat angka tersebut.

Masyarakat Paris lebih suka mendukung tim berprestasi asal kota lain, sesuatu hal yang dimanfaatkan klub yang bersangkutan. Reims menggelar laga Piala Champions dan Piala Prancis di Paris ketimbang kampung halaman karena penonton ibu kota lebih banyak.

Saint-Etienne menggelar parade di Champs-Elysees usai masuk final Piala Champions 1976.

Bukti lain terlihat pada final Piala Prancis 1967 di Stade de Colombes, stadion multiguna yang terletak di barat daya Paris. Olympique Lyon menjadi juara usai mengalahkan Sochaux 3-1. Namun, penonton justru meneriakkan nama Angouleme saat pemain Lyon mengelilingi lapangan untuk memamerkan trofi dan medali yang diberikan presiden Prancis kala itu, Charles de Gaulle.

Saksikan Video Berikut Ini


Koneksi Paris

ilustrasi BOLA GANJIL
ilustrasi BOLA GANJIL (Liputan6.com/Abdillah)

Siapa Angouleme? Terletak di antara Limoges dan Bordeaux, kota itu juga tidak punya tradisi kuat di sepak bola. Namun, pada musim 1966/1967 klub kebanggaan mampu mencapai semifinal Piala Prancis. Padahal mereka baru melakoni kampanye kedua sebagai klub profesional.

Perjalanan Angouleme menarik perhatian masyarakat Paris. Apalagi klub memiliki hubungan erat dengan mereka.

Racing Paris baru saja merger dengan UA Sedan. Klub baru tersebut melakoni laga kandang 200 km dari ibu kota. Pemain, pelatih, dan direksi juga mayoritas dari Sedan.

Sedangkan hanya tiga pemain asal Racing Club yang dipertahankan. Mayoritas tidak dibutuhkan.

Angouleme memanfaatkan situasi ini dan mendatangkan enam pemain eks Racing Club, yakni Pierre Phelippon, Michel Polrot, Max Samper, Edouard Halberda, Jean-Pierre Miredin, Umberto Melloni, dan Michel Polrot.


Tersingkir Tragis

koin
Wasit melempar koin untuk menentukan pemenang Olympique Lyon vs Angouleme di Piala Prancis 1967. (Twitter)

Kehadiran mereka membuat masyarakat Paris mendukung Angouleme. Terlebih Angouleme menorehkan kisah Cinderella.

Berturut-turut mereka mengalahkan Nantes (2-1) dan Lens (2-0) yang satu kasta lebih tinggi. Angouleme lalu menghadapi Lyon di semifinal.

Tertinggal 1-3 di laga pertama, Angouleme mampu mengejar dan memaksa replay. Kedua tim kembali bermain sama kuat 1-1 sehingga duel ketiga harus digelar, yang juga berkesudahan dengan skor serupa.

Ketika itu Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) menerapkan maksimal replay hanya dua partai. Dengan adu penalti belum diterapkan, pemenang duel ditentukan melalui koin. Kapten Angouleme Yvon Goujon salah menebak sisi dan Lyon ditetapkan sebagai pemenang.


Simpati untuk Angouleme

ilustrasi bola ganjil
bola ganjil (Liputan6.com/Abdillah)

Keputusan FFF secara logika bisa dimengerti. Menggelar pertandingan replay tanpa kepastian berpotensi merugikan. Penggunaan koin pun dipahami karena praktik tersebut juga diterapkan di negara lain.

Namun, FFF tetap mendapat kritik pedas dari suporter dan jurnalis karena mengakhiri mimpi Angouleme.

Pada akhirnya suporter dan Angouleme harus menerima keputusan. Sehari sebelum final, Menteri Pemuda dan Olahraga Prancis mengirim surat simpati kepada Presiden Angouleme. Dia berjanji bakal mendorong FFF untuk mencari solusi lebih baik di masa depan demi menemukan pemenang.

Sementara aksi penonton usai laga Lyon vs Sochaux merupakan bukti kalau masyarakat Paris tidak melulu tertarik dengan gemerlap sepak bola. Kisah klub kecil juga bisa menarik hati mereka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya